Selasa, 19 April 2011

STESS

Individu dalam kehidupannya berinteraksi dengan lingkungan dan tergantung pada lingkungan. Individu banyak mengambil manfaat dari lingkungan. Namun, lingkungan juga bisa menimbulkan stress tersendiri bagi individu. Stress yang dialami individu yang disebabkan oleh lingkungan disebut stress lingkungan. Salah satu pendekatan untuk mempelajari psikologi lingkungan adalah stress lingkungan.

Paul A. Bell menjelaskan bahwa setelah individu mempersepsikan rangsangan dari lingkungannya, akan terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama, rangsangan itu dipersepsikan berada dalam batas ambang toleransi individu yang bersangkutan yang menyebabkan individu berada dalam keadaan homeostasis. Kemungkinan kedua, rangsangan itu dipersepsikan di luar ambang toleransi yang menimbulkan stress pada individu.

Stress adalah beban mental yang oleh individu yang bersangkutan akan dikurangi atau dihilangkan. Untuk mengurangi atau menghilangkan stress, individu melakukan tingkah laku penyesuaian (coping behavior). Jika berhasil, individu akan kembali pada keadaan homeostasis, tetapi jika tidak berhasil, maka individu akan kembali pada keadaan stress lagi, bahkan kemungkinan stress itu akan bertambah besar. Jika individu merasa tidak berdaya atau tidak tahu lagi harus berbuat apa dalam menghadapi stress, akan timbul reaksi panik berkepanjangan yang bisa menjurus pada timbulnya gejala psikoneurosis (gangguan jiwa). Ada empat contoh penting dari stress lingkungan yaitu bencana alam, bencana teknologi, bising, dan commuting to work (pulang pergi untuk kerja).

Stress merupakan konsep umum pada saat sekarang. Stress digunakan untuk menjelaskan suasana hati yang buruk atau tingkah laku yang luar biasa, dan perkembangan dari teknik manajemen stress seperti meditasi, relaksasi dan sistem biofeedback. Teori-teori mengenai stress memperkenankan kita untuk menggambarkan hubungan diantara sejumlah situasi-situasi yang berbeda. Menurut sejarah, studi dalam psikologi lingkungan berorientasi pada masalah. Selama tahun 1970an, studi dimulai untuk mendemonstrasikan beberapa efek yang sama dari bencana alam dan teknologi, kebisingan, dan commuting. Akan tetapi, fenomena tersebut tidak berarti memiliki kesamaan dalam segala hal.

Stress lingkungan penting untuk dipelajari agar individu tahu dan bisa mengatasinya jika stress lingkungan timbul dalam kehidupannya sehingga individu tersebut bisa memberikan respon atau tingkah laku penyesuaian agar bisa kembali ke keadaan homeostasis. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai stress lingkungan, sumber stress, aspek dari stress dan bagaimana dampaknya, serta penanggulangannya.

SUMBER : Tahrir, Hizbut. 2008. Depresi Sosial : Gejala dan Akar Penyebabnya. Diakses pada : Minggu, 12 Oktober 2008.

Sarwono, Sarlito W. 1995. Psikologi Lingkungan. Yogyakarta: PT Grasindo.


PRIVASI

Privasi adalah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka. (http://id.wikipedia.org/wiki/Privasi)
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan menyangkut keterbukaan atau ketertutupan , yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar di capai orang lain. (Dibyo Hartono, 1986)
Psikologi mengartikan ‘privacy’ sebagai kebebasan pribadi untuk memilih apa yang akan di sampaikan. Dengan perkataan lain, ‘privacy’ dalam psikologi belum tentusampaikan atau dikomunikasikan tentang dirinya sendiri dan kepada siapa akan disampaikan akan tercipta hanya dengan adanya batasan-batasan fisik saja. Psikologipun mengklasifikasikan ‘privacy’ ini menjadi: ‘solitude’ yang berarti kesunyian, ‘intimacy’ atau keintiman, ‘anonymity’ atau tanpa identitas, dan ‘reserve’ yang berarti kesendirian.

sumber : Dharma, Agus.Teori Arsitektur 3.Jakarta:Gunadarma,1998.
http://id.wikipedia.org/wiki/Privasi

TERITORIALITAS

Pengertian teritorialitas ???????????
Territorialitas adalah pembentukan kawasan teritotial adalah mekanisme perilaku untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas batas-batasan antar diri dengan orang lain, maka pada teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relative tetap.
Teritori (territory) artinya wilayah atau daerah, dan teritorialitas (territoriality) adalah batasan tampak atas wilayah yang dimiliki oleh individu atau wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang.
Teritorialitas juga dapat disebut sebagai suatu pola tingkah laku yag ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar. Pada manusia, teritorialitas ini tidak hanya berfungsi sebagai perwujudan privasi saja, tetapi juga mempunyai fungsi sosial dan komunikasi.
Menurut Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain. Degan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu territorial primer.

CONTOH FENOMENA

FENOMENA mengenai Teritorialitas
HARIAN Jawa Pos (edisi 15-17 September 2010) menyajikan laporan menarik tentang kehidupan warga negara kita yang hidup di Pulau Sebatik, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Dalam laporan itu terungkap, warga Indonesia lebih senang tinggal di Malaysia. Itu terutama disebabkan oleh alasan ekonomi. Pemerintah Malaysia, misalnya, menyediakan lahan dengan harga sewa yang murah apabila dibandingkan dengan Indonesia. “Persoalan perut” merupakan problem yang sangat krusial.
Selain itu, banyak warga yang menyatakan layanan kesehatan Malaysia lebih baik. Pasien segera mendapatkan penanganan intensif tanpa peduli apakah beridentitas sebagai warga Indonesia atau Malaysia. Hal lain yang lebih penting, jika belum mampu membayar biaya berobat, warga Indonesia dapat melunasinya dengan cara mencicil. Karena masalah ekonomi dan kesehatan itu, nasionalisme warga Indonesia dipandang mulai luntur. Namun, apakah pudarnya nasionalisme tersebut pantas disalahkan kepada warga di wilayah perbatasan?
Rasa kebangsaan dan kesadaran terhadap kewilayahan adalah dua hal yang saling mengandaikan. Tidak ada bangsa tanpa wilayah. Demikian halnya dengan suatu wilayah pasti menunjukkan bangsa. Nasionalisme dan teritorialitas merupakan keutuhan yang membentuk identitas bangsa. Dalam perkara ini, kita amat sering mengabaikannya. Nasionalisme sekadar dipahami sebagai gagasan yang bermuara kepada loyalitas bangsa secara membabi buta.
Realitas itu terbukti ketika tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepulauan Riau hendak menangkap tujuh nelayan Malaysia yang mencuri ikan di wilayah Indonesia. Justru tiga petugas itulah yang ditangkap polisi Malaysia. Mereka diperlakukan bagaikan penjahat. Panas nasionalisme kalangan anak bangsa pun lantas meninggi. Ungkapan protes berhamburan di mana-mana. Bendera Malaysia diinjak-injak dan dibakar. Kedutaan Malaysia di Jakarta diserbu demonstran dan dilempari kotoran manusia. Nasionalisme secara otomatis menyala saat ada warga bangsa yang dianiaya. Nasionalisme berkobar hebat ketika batas teritorialitas diterabas.
Fenomena itu adalah tindakan klise yang terus berulang. Sebab, kita sendiri tidak memedulikan batas teritorialitas bangsa ini. Apa yang disebut teritorialitas? Menurut Robert David Sack (seperti dikutip John Etherington, Nationalism, National Identity, and Territory, 2003), itu merupakan “upaya individual atau kelompok untuk memengaruhi, menggunakan, atau mengontrol objek-objek, orang-orang, dan hubungan-hubungan yang ada dengan cara membatasi dan menegaskan kendali terhadap area geografis tertentu”. Jadi, nasionalisme tidak mungkin terpisah dari batas teritorialitas. Bukan teritorialitas dalam pengertian fisik-geografis saja, melainkan terhadap manusia dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya.

SUMBER :

Triyono Lukmantoro, dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang
RESOURCE: http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Arsitektur dan Perilaku Manusia, karya Joyce Marcella Laurens




Ruang Personal

Ruang personal bisa dikatakan ruang pribadi, Ruang pribadi adalah kawasan sekitarnya seseorang yang mereka anggap sebagai psikologis mereka. Gagasan ruang pribadi berasal dari Edward T. Hall , ide-ide yang dipengaruhi oleh Heini Hediger studi dari perilaku hewan kebun binatang.
Ruang pribadi itu sebuah tempat yang nggak terbatas oleh bentuk fisik . ruang pribadi adalah tempat untuk kita menjadi diri kita sendiri. Melakukan sesuatu yang menjadi passion kita. Keinginan yang terpendam, yang sangat bernafsu untuk kita wujudkan dan kerjakan. Tanpa di batasi oleh peraturan, orang lain, bahkan diri kita sendiri. Tempat untuk bebas berekspresi menjadi diri kita sesungguhnya. Lebih jauh lagi ruang pribadi itu adalah “tempat kita melepaskan topeng kita”.
Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita berbicara dengan orang lain, kita membuat jarak terhadap orang yang kita ajak bicara, jarak ini sangat bergantung pada bagaimana sikap dan persepsi kita terhadap orang tersebut. Persepsi ruang inilah yang disebut oleh J.D. Fisher sebagai personal space. Personal space didefinisikan sebagai suatu batas maya yang mengelilingi kita yang dirasakan sebagai wilayah pribadi kita dan tidak boleh dilalui oleh orang lain.

sumber : http://psipop.blogspot.com/2010/03/ruang-pribadi-personal-space.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Personal_space

Kesesakan

Kepadatan dan kesesakan adalah dua dari beberapa kosep gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya. Kedua konsep ini saling berhubungan dan berkaitan satu sama lainnya sehingga mendapat perhatian yang serius dari para ahli psikologi lingkungan. Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun ini bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus.

Masuk pada pembahasan mengenai kesesakan (crowding). Kesesakan merupakan bentuk lain dari persepsi terhadap lingkungan. Menurut beberapa tokoh, kesesakan memliki arti yang beragam. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (dalam Wrightsman & Deaux, 1981). Sedangkan menurut Holahan,.dkk. (dalam Schmidt dan Keating, 1978) kepadatan adalah sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik, sejalan dengan pendapat Sarwono, 1992, yang menjelaskan bahwa kepadatan adalah suatu keadaan akan dikatakan semakin padat apabila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya.

Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak, sumber-sumber yang ada di dalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologis, dan menurunnya kualitas hidup (freedman, 1973).

Pengaruh negatif kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan-penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.

Individu yang berada dalam kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosomatik, dan penyakit-penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).

Perilaku sosial yang seringkali timbul karena situasi yang sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial,.berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982).



sumber : Wirawan Sarwono, Sarlito. (1992). Psikologi Lingkungan. Jakarta: PT. Grasindo

Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Jakarta : penerbit Gunadarma.

Sabtu, 19 Maret 2011

Kepadatan

A. Pengertian Kepadatan

Kepadatan merupakan masalah bagi setiap negara di dunia terutama negara-negara berkembang umumnya, dan Indonesia khususnya. Pertambahan penduduk secara besar-besaran mengakibatkan berbagai masalah. Seperti kurangnya lapangan pekerjaan yang mengakibatkan peningkatan kejahatan. Selain itu kepadatan menurut sebuah survey turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan agresifitas.

Kepadatan memiliki arti hasil bagi jumlah objek terhadap luas daerah. Dengan demikian satuan yang digunakan adalah satuan/luas daerah. Sedangkan ada yang berpendapat bahwa kepadatan adalah jumlah rata-rata penduduk yang mendiami suatu wilayah administrative atau politis tertentu, biasanya dinyatakan dalam jiwa/Km2. Adapun rumus untuk menghitung kepadatan penduduk suatu wilayah:

Kepadatan penduduk = jumlah penduduk (jiwa) / Luas wilayah (km2)

B. Kategori-Kategori Kepadatan

Adapun kepadatan memiliki kategori-kategori. Manurut Altman (1975), variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Dan variasinya adalah sebagai berikut:

1. Jumlah Individu dalam sebuah kota: Semakin tinggi angka kelahiran dibanding kematian, serta angka penduduk yang masuk dari pada penduduk yang keluar, dapat disimpulkan bahwa kota tersebut padat.

2. Jumlah individu dalam jumlah sensus

3. Jumlah individu pada unit tempat tinggal: artinya semakin banyak anggota keluarga dalam satu rumah di suatu daerah. Semakin padat pula daerah tersebut

4. Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal

5. Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain – lain.

Sedangkan Hollahan membagi kategori kepadatan menjadi dua:

1. Kepadatan spasial: Yaitu saat suatu bangunan mengalamii penyempitan walaupun jumlah penduduknya atau penghuninya tetap. Sehingga kepadatan meningkat sejalan dengan menurunnya besar ruangan

2. Kepadatan social: Yaitu diamana suatu keadaan yang tidak ada penyempitan ruangan, namun penduduk atau penghuninya bertambah dan tidak diikuti dengan pembesaran ruangan

C. Akibat-Akibat Kepadatan Tinggi

Kepadatan juga memberikan kontribusi besar terhadap psikis seseorang yang menempati suatu daerah yang padat. Banyaknya penelitian yang menyebutkan bahwa seseorang memiliki tingkat stress dan kekecwaan tinggi pada ruangan yang ditempati lebih dari kapasitas ruangan tersebut dari pada ruang yang ditempati sesuai dengan kapasitas ruangan tersebut. Akibatnya dampak fisik yang diterima inividu adalah peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit lainnya. (Heimstra dan McFarling, 1978).

D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya

Namun berhubungan dengan kepadatan adalah suatu persepsi, maka makna dari kepadatan tersebut juga bervariasi. Pengertian kepadatan juga tergantung dimana individu tersebut tinggal. Ternyata di negara dengan jumlah penduduk tinggi seperti di China. Kepadatan bisa mereka terima dengan baik tanpa adanya hal-hal negative seperti yang telah dibahas sebelumnya. Ajaran mereka tentang merawat 5 generasi dalam satu rumah dapat mereka atasi dengan baik tanpa mengalami kesesakan. Jadi perasaan individu tentang kepadatan memiliki penerimaan berbeda ditiap orangnya. Tergantung dari beberapa factor, termasuk kebudayaan didalamnya.


Sumber:

Selasa, 08 Maret 2011

Pendekatan Teori Psikologi Lingkungan

MEMAHAMI DAN MENJELASKAN PENDEKATAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN

A. TEORI PSIKOLOGI LINGKUNGAN
• Arousal Theory (Teori Arousal)
Arousal memiliki arti harfiah yang berarti pembangkit. Pembangkit maknanya adalah gairah atau emosi individu untuk mengerjakan sesuatu. Misalnya saja saat kita kuliah pada mata pelajaran yang tidak menyenangkan, atau materi yang tidak kita suka. Maka secara otomatis kita akan mengantuk atau merasa lelah lebih cepat. Hal tersebut bisa diartikan bahwa kita tidak memiliki arousal untuk mata kuliah tersebut. Berkaitan dengan Psikologi Lingkungan adalah, saat arousal seseorang itu rendah maka kinerja dari orang tersebut menurun, dan sebaliknya saat makin tinggi tingkat arousal seseorang maka semakin tinggi pula konerja nya.
• Teori Beban Lingkungan
Teori ini mengatakan bahwa manusia memiliki pemrosesan informasi yang terbatas. Menurut Cohen (Fisher, 1985; dalam Veitch & Arkkelin, 1995), asumsi tersebut adalah:
1. Bahwa manusia memiliki kapasitas pemrosesan informasi yang terbatas.
2. Jumlah Atensi yang diberikan orang tidak konstan, namun lebih kepada kesesuaian dengan kebutuhan.
3. Ketika informasi yang masuk berlebih, maka perhatian tidak akan bekerja secara maksimal.
4. Stimulus yang masuk akan dipantau, jika stimulus tersebut memiliki makna dan diperhatikan maka aka nada pemrosesan lebih jauh, namun jika tidak akan langsung dibuang atau tidak ada pemrosesan lebih lanjut.
Apabila informasi yang masuk lebih besar dari kapasitas maka akan terjadi yang dinamakan dengan pemusatan perhatian, contohnya saja saat kita sedang menjalani ujian tengah semester, kita akan lebih fokus mengerjakan soal ujian dan lebih cenderung mengabaikan keadaan sekitar sampai soal yang kita kerjakan selesai.
Namun jika sebaliknya, saat stimulus yang datang lebih kecil dari kapasitas dapat terjadi kebosanan pada diri individu. Karena kurangnya stimulus dalam lingkungan juga dapat dikaitkan dengan kemonoton-an informasi yang datang ke diri individu.

• Teori Hambatan Perilaku
Pendapat teori ini adalah stimulasi yang berlebihan menyebabkan terjadinya penghambatan dalam memproses informasi. Sehingga berakibat hilangnya control dari individu terhadap situasi.
Menurut Brehm dan Brehm (dalam Veitch & Arkkelin, 1995), awal saat kita merasakan hilang kendali atau control terhadap lingkungan, maka mula-mula kita akan merasa tak nyaman dan berusaha untuk menekankan kembali fungsi kendali kita. Hal ini disebut dengan fenomena psychological reactance.
• Teori Tingkat Adaptasi
Teori ini memiliki kemiripan dengan teori beban lingkungan, yang dimana stimulus yang tinggi maupun rendah memiliki dampak negativ bagi perilaku individu. Namun nilai lain dari teori ini adalah pengenalan tingkat adaptasi pada individu, misalnya tingkat arousal atau adaptasi individu terbiasa dengan keadaan lingkungan atau tingkat pengharapan suatu lingkungan tertentu.
Menurut Wohwill (dalam Fisher, 1984) membagi 3 dimensi hubungan perilaku lingkungan:
1. Intensitas, yang berhubungan dengan kesesakan atau justru kelenggangan yang dapat mempengaruhi psikologis individu.
2. Keanekaragaman, berkaitan dengan banyaknya informasi yang masuk atau justru sedkitnya informasi yang masuk dan tak sebanding dengan kapasitas pemrosesan informasi. Jika berlebih maka dapat terjadi yang dinamakan overload dan jika terlalu sedikit maka dapat terjadi kemonotonan.
3. Keterpolaan, berkaitan dengan keteraturan suatu pola sehingga dapat atau tidak dapatnya diprediksi oleh individu. Semakin teratur suatu pola semakin mudah dikenali oleh individu, dan begitupun sebaliknya.
Teori Stress Lingkungan
Teori in lebih menekankan pada peran fisiologi, kognisi maupun emosi dalam usaha manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Stress dapat terjadi saat respon stress atau beban melebihi kapasitas tingkat optimal. Hal yang dapat membuat individu menjadi stress disebut dengan stressor. Namun individu memiliki hal yang disebut dengan coping. Jika sumber-sumber coping tersebut habis maka dapat terjadi exhausted atau yang biasa kita sebut dengan kelelahan (Selye dalam Veitch & Arkkelin, 1995).


2. METODE PENELITIAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN

a. Studi Korelasi

Seorang peneliti dapat menggunakan variasi dari metode korelasi, jika seorang peneliti berminat untuk memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi (Veitch & Arkkelin, 1995). Studi ini menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan atau peristiwa yang terjadi di alam nyata tanpa dipengaruhi oleh pengumpulan data.

Namun sesempurna apapun suatu studi juga memiliki kelemahan. Kelemahan dari studi kasus adalah lemahnya validitas internal, berkebalikan dengan studi laboratorium yang memiliki tingkat validitas internal yang lebih tinggi, namun memliki validitas eksternal yang lebih rendah jika dibandingkan dengan studi korelasi.

b. Eksperiment Laboratorium

Jika peneliti tertarik untuk memastikan tingkat validitas internal yang tinggi, maka studi inilah yang sangat tepat (Veitch & Arkkelin, 1995). Metode ini member kebebasan kepada peneliti untuk melakuakn manipulasi secara sistematik dengan tujuan mengurangi variable-variabel yang mengganggu. Metode ini mengambil subjeknya secara random, yang berarti semua subjek memiliki kesempatan yang sama dalam semua keadaan eksperimen. Namun kelemahan dari metode ini salah satunya adalah hasil yang diperoleh di laboratorium belum pasti dapat diterpkan di luar laboratorium.

c. Eksperimen Lapangan

Metode ini adalah metode penengah antara Korekasi dengan Eksperiment Laboratorium. Asumsinya adalah jika peneliti ingin menyeimbangkan validitas internal yang didapat dalam eksperiment laboratorium dengan validitas eksternal yang didapat dari studi korelasi. Dalam metode ini peneliti tetap melakukan manipulasi sitematis, hanya bedanya peneliti juga harus member perhatian pada variable eksternal dalam suatu seting tertentu

d. Teknik-Teknik Pengukuran

Beberapa disajikan beberapa contoh tekhnik pengukuran dengan keunggulannya masing-masing, antara lain mudah dalam scoring, administrasi maupun dalam proses pembuatannya. Antara lain:

A Self-report

B Kuisioner

C Wawancara atau Interview

D Skala Penilaian



Sumber : http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf
http://pdfcast.org/pdf/beberapa-teori-psikologi-lingkungan

Senin, 14 Februari 2011

Psikologi lingkungan

A. Latar Belakang
Field Theory (teori medan) merupakan yang pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin, dimana merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Sebelumnya kita kenal istilah psikologi lingkungan

B. Definisi
Membahas perihal teori-teori yang dikemukakan para ahli psikologi lingkungan, maka yang terlibat adalah teori-teori, baik di dalam maupun di luar disiplin psikologi. Beberapa teori tersebut amat luas jangkauannya dan beberapa lagi yang lain lebih terfokus, beberapa amat lemah dalam data empiris dan beberapa yang lain amat kuat. Dalam kaitan antara lingkungan dengan perilaku manusia, maka kita dapat menyebut sejumlah teori dimana dalam perspektif ini, yang terlibat di dalamnya antara lain adalah geografi, biologi ekologi, behaviorisme, dan psikologi Gestalt (Veitch & Arkkelin, 1995).

Geografi. Beberapa ahli sejarah dan geografi telah mencoba menerangkan jatuh-bangunnya peradaban yang disebabkan oleh karakteristik lingkungan. Sebagai contoh, Toynbee (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengembangkan teori bahwa lingkungan (atau secara lebih spesifik topografi, iklim, vegetasi, ketersediaan air, dan sebagainya) adalah tantangan bagi penduduk yang tinggal di lingkungan tersebut. Tantangan lingkungan yang ekstrim akan merusak peradaban, sementara tantangan yang terlalu kecil akan mengakibatkan stagnasi
kebudayaan. Lebih lanjut Toynbee mengusulkan bahwa tantangan lingkungan pada tingkat menengah juga dapat mempengaruhi perkembangan peradaban. Pada tingkat yang makin berkurang atau sebaliknya makin berlebihan hasilnya justru akan memperlemah pengaruhnya.

Gagasan mengenai tantangan lingkungan dan respon-respon perilakunya meski didasari oleh
para penganut geographical determinism, ternyata seringkali merupakan bentuk-bentuk atau
variasi-variasi teori yang diterapkan dalam psikologi lingkungan. Sebagai contoh Barry, Child dan Bacon (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengusulkan bahwa kebudayaan masyarakat pertanian (yang tidak nomaden) ternyata menekankan pola asuh pada generasinya berupa: tanggungjawab, ketaatan, dan kepatuhan. Sebaliknya pada kebudayaan nomaden pola asuh yang ditekankan adalah pada kemandirian dan akal.

Behaviorisme. Pengaruh penting lain yang merupakan pemikiran yang datang dari cabang disiplin psikologi sendiri adalah behaviorisme. Pemikiran kalangan behavioris muncul sebagai reaksi atas kegagalan teori-teori kepribadian untuk menerangkan perilaku manusia.
Pada saat ini secara umum dapat diterima bahwa dua hal penting yang menjadi pertimbangan adalah konteks lingkungan dimana suatu perilaku muncul dan variabel-variabel personal (seperti kepribadian atau sikap). Dengan mempertimbangkan kedua hal ini maka akan lebih dapatdiramalkan suatu fenomena manusiadan lingkungannya daripadajika dibuat pengukuran
sendiri-sendiri.

Dari pandangan Gestalt, suatu perilaku didasarkan pada proses kognitif, yang bukan dipengaruhi oleh proses stimulus tetapi dari persepsi terhadap stimulus tersebut. Pengaruh Gestalt pada psikologi lingkungan dapat
dilihat antara lain pada kognisi lingkungan, misalnya untuk menjelaskan persepsi, berpikir, dan pemrosesan informasi lingkungan.

Dari beberapa perspektif di atas, Veitch & Arkkelin (1995) menekanlan adanya dua hal yang perlu diketahui. Pertama, sebagaimanayang sudah disebutkan di atas bahwa pendekatan yang dipakai pada perspektf-perspektif di atas ada yang amat lebar dalam cakupan dan ada pula yang lemah dalam data empiris
Kedua, tidak ada grand theory dalam psikologi lingkungan, karena tidak ada pendekatan atau perspektif tunggal yang dapat menerangkan hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungannya secara memuaskan.

Hal ini paling tidak disebabkan oleh empat hal:
(a) Tidak ada data yang cukup tersedia dalam kaitan hubungan manusia dengan lingkungannya, sehingga dapat dipercaya untuk menyatukan teori
(b) Hubungan-hubungan yang dikaji para peneliti amaat sangat beragam
(c) Metode yang digunakan tidak konsisten
(d) Cara pengukuran variabel tidak selalu kompatibel dari suatu seting penelitian ke penelitian berikutnya.












C. Lingkup Psikologi Lingkungan


Ruang lingkup psikologi lingkungan lebih membahas rancangan, organisasi dan pemaknaan, serta lingkup lain yang bervariasi. (Proshansky, 1974)

Sosiologi yang muncul pada tahun 1970 merupakan cabang yang amat dekat dengan psikologi lingkungan. Jenis-jenis lingkungan di dalam psikologi lingkungan (Sarwono, 1992) adalah:

1. Lingkungan alamiah (lautan, hutan)
2. Lingkungan buatan/binaan ( jalan raya, perumahan)
3. Lingkungan social
4. Lingkungan yang dimodifikasi

D. Ambient Condition dan Architectural Features
Dalam hubungannya dengan lingkungan fisik Wrighstman dan Deaux 1981 membedakan dua bentuk kualitas lingkungan:

1. Ambient Condition: Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya, warna, dan temperature.

2. Architectural Features: Yang bersifat permanent, misalnya dalam suatu ruangan yang termasuk didalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai atap serta pengaturan perabot dan dekorasi.dsb.



sumber : http://elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab1-pendahuluan.pdf
http://elearning.faqih.net/2009/12/pendekatan-teori-dan-metode-penelitian.html

Minggu, 09 Januari 2011

Artikel Psikologi Umum

Psikologi adalah suatu ilmu yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan. Dalam mempelajari psikologi membutuhkan waktu yang relatif lama,karenapsikologi merupakan cabang dari filsafat. Dahulu psikologi mempelajari mind (pikiran) tetapi lama-lama kata mind berubah menjadi behavior (tingkah laku). Ini karena kata mind bersifat abstrak jadi sukar untuk dipelajari.Banyak sekali terdapat definisi tentang psikologi. Dengan begitu banyak pula terdapat perbedaan dikalangan para ahli mengenai psikologi. Kita tidak akan menjelaskan semuanya itu, tetapi disini kami akanmembahas definisi yang masih digunakan sampai sekarang antara lain:

a. Definisi Etimologi

Definisi yang dipakai dengan cara memberikan asal usul suatu kata, tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa istilah ituhanya mengandung pengertianyang ada sekarang saja.

b. Definisi Sinonim

Definisi ini menggunakan sinonim, karena sinonim memberikan bantuan terbesar dalam pembuatannya.

c. Definisi Uraian

Definisi ini menguraikan segala sesuatudengan menjelaskanciri-ciri dan bagian-bagiannya satu persatu. Definisi ini digunakan untuk membatasi pengertian suatu istilah dengan membedakan genusnya (kelasnya) dan mengadakan diferensiasi. Tujuannya adalah untuk member pengertian yang membedakan genus dan menyebut diferensiasi suatu kata.
Psikologi sebagai ilmu

Ada 4 syarat psikologi sebagai ilmu, yaitu:

1.Mempunyai objek

Objek psikologi ada 2 yaitu objek material dan objek formal. Objek material yaitu apa saja yang di bahas, di pelajari dan di selidiki yang ditentukan dan dijadikan sasaran pemikiran. Objek ini merupakan masalah pokok. Objek formal yaitu cara pandang, dan tinjauan peneliti terhadap objek material dan prinsip-prinsip yang digunakan. Objek ini yang membedakan ilmu satu dengan ilmu lain.

2. Mempunyai ,metode

Cara kerja untuk memahami objek sasaran dan psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dan telah menggunakan metode ilmiah. Sifat-sifat metode ilmiah yaitu objektif ( apa adanya), adekuat ( sesuai masalah dan tujuan), Reliable (dapat dipercaya dan infonya tepat), Valid (sesuai objek), Sistematis (urut atau tersusun dengan baik), Akurat (member data yang teliti).

3. Sistematis

Psikologi mempunyai susunan yang baik dan benar. Berikut ada beberapa cabang psikologi yaitu:

a. Psikologi teoritis yaitu psikologi berdasarkan teori.Teori ini digunakan untuk memprediksi lalu teori ini digunakan untuk menjelaskan. Maka teori ini merupakan alat terpenting dari satu ilmu pengetahuan. Ada 2 kelompok psikologi teoritis:Psikologi umum psikologi ini mempelajari menguraikan dan menyelidiki aktivitas psikis manusia yang sifatnya umum.psikologi khusus psikologi yang mempelajari tingkah laku manusia pada situasi khusus.

b. Psikologi praktis .Di sebut juga psikologi terapan yaitu psikologi yang mempelajari tingkah laku individu dalam kehidupannya. Tujuannya untuk menemukan prinsip-prinsip psikologi untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan manusia. Adapun cabang-cabang psikologi praktis diantaranya : Psikologi perusahaan ( menyelesaikan masalah – masalah dalam perusahaan ) , Psikologi klinis dan bimbingan psikologi ( usaha para psikolog untuk menolong orang yang menderita).

4.Universal

Psikologi itu harus berlaku untuk umum. Tidak hanya berlaku hanya pada satu cabang ilmu saja melainkan keseluruhan ilmu.

Psikologi sebagai Filsafat

Dahulu para filsuf kuno telah membahas mengenai psikologi dan di katakan bahwa semua ilmu tergolong kedalam filsafat sedangkan ahli filsafat mengatakan bahwa filsafat adalah induk ilmu pengetahuan. Lalu apa sebenarnya filsafat itu? Filsafat adalah suatu ilmu yang mempelajari hakekat sesuatu dengan menciptakan pertanyaan dan jawaban secara terus-menerus sehingga mencapai pengertian yang hakiki tentang sesuatu . Namun pada masa itu belum ada pembuktian yang empiris melainkan hanya teori-teori berdasarkan argumentasi logika belaka .

Daftar Pustaka http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/31/artikel-psikologi-umum/

Pensiun dan Gejala Depresi

Salah satu masa dalam rentang kehidupan manusia yang rentan terhadap depresi adalah masa pensiunan. Menurut Blakburn dan Davidson (dalam Kuntjoro, 2002) ada beberapa kondisi yang menyebabkan pensiunan mengalami depresi, antara lain: pertama, Pensiun [baik itu pegawai negeri, swasta, maupun yang bergelut dalam dunia bisnis] seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi kelak. Dalam era modern seperti sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu faktor terpenting yang bisa mendatangkan kepuasan (karena uang, jabatan dan memperkuat harga diri). Oleh karenanya, sering terjadi orang yang pensiun bukannya bisa menikmati masa tua dengan hidup santai, sebaliknya, ada yang malahan mengalami problem serius (kejiwaan atau pun fisik).

Kedua; usia, banyak orang yang takut menghadapi masa tua karena asumsinya jika sudah tua, maka fisik akan makin lemah, makin banyak penyakit, cepat lupa, penampilan makin tidak menarik dan makin banyak hambatan lain yang membuat hidup makin terbatas. Pensiun sering diidentikkan dengan tanda seseorang memasuki masa tua. Banyak orang mempersepsi secara negatif dengan menganggap bahwa pensiun itu merupakan pertanda dirinya sudah tidak berguna dan tidak dibutuhkan lagi karena usia tua dan produktivitas makin menurun sehingga tidak menguntungkan lagi bagi perusahaan atau organisasi tempat mereka bekerja. Seringkali pemahaman itu tanpa sadar mempengaruhi persepsi seseorang sehingga ia menjadi over sensitif dan subyektif terhadap stimulus yang ditangkap. Kondisi ini lah yang membuat orang jadi sakit-sakitan saat pensiun tiba.

Lebih lanjut Marie Blakburn dan Kate Davidson (dalam Kuntjoro, 2002) mengemukakan bahwa gejala-gejala psikologis adanya depresi bila ditinjau dari beberapa aspek, adalah sebagai berikut : 1. Suasana hati, ditandai dengan kesedihan, kecemasan, mudah marah. 2. Berpikir, ditandai dengan mudah hilang konsentrasi, lambat dan kacau dalam berpikir, menyalahkan diri sendiri, ragu-ragu, harga diri rendah. 3. Motivasi, ditandai dengan kurang minat bekerja dan menekuni hobi, menghindari kegiatan kerja dan sosial, ingin melarikan diri, ketergantungan tinggi pada orang lain. 4. Perilaku, di tandai dengan gelisah terlihat dari gerakan yang lamban, sering mondar-mandir, menangis, mengeluh, 5) Hilang nafsu makan atau nafsu makan bertambah, hilang hasrat seksual, tidur terganggu.

Menurut Kim, J., E. dan Moen, P., (dalam Rini 2001) dari Cornell University meneliti hubungan antara pensiun dengan depresi. Keduanya menemukan: Wanita yang baru pensiun cenderung mengalami depresi lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang sudah lama pensiun atau bahkan yang masih bekerja, terutama jika sang suami masih bekerja; Pria yang baru pensiun cenderung lebih banyak mengalami konflik perkawinan dibandingkan dengan yang belum pensiun; Pria yang baru pensiun namun istrinya masih bekerja cenderung mengalami konflik perkawinan lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang sama-sama baru pensiun namun istrinya tidak bekerja; Pria yang pensiun dan kembali bekerja dan mempunyai istri yang tidak bekerja, maka keduanya memiliki semangat lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan yang keduanya sama-sama tidak bekerja.
Daftar Pustaka http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2009/12/05/pensiun-dan-gejala-depresi/

Penerimaan Sosial Remaja

Setiap remaja dituntut untuk menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Ketrampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin penting dan krusial manakala anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Ketrampilan-ketrampilan tersebut biasanya disebut sebagai aspek psikososial. Salah satu aspek dari ketrampilan sosial adalah penerimaan sosial. Menurut Hurlock (dalamYusuf, 2002) penerimaan sosial adalah individu dinilai positif oleh orang lain, mau berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial, dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain. Dengan kata lain seseorang dapat diterima secara positif oleh lingkungan sekitarnya dan mau berperan serta dalam kegiatan-kegiatan sosial dalam masyarakat.

Sementara itu pengertian penerimaan sosial menurut Berk (dalam Habibah, 2000) adalah kemampuan seseorang, sehingga ia dihormati oleh anggota kelompok yang lainnya sebagai partner sosial yang berguna. Kemampuan ini meliputi kemauan untuk menerima orang lain sekurang-kurangnya sabar menghadapi, bersikap tenang, ramah tamah dan sebagainya. Penerimaan sosial dapat memudahkan dalam pembentukan tingkah laku sosial yang diinginkan, reinforcement atau modeling dan pelatihan secara langsung dapat meningkatkan keterampilan sosial.

Penerimaan sosial juga berarti dipilih sebagai teman untuk suatu aktifitas dalam kelompok dimana seseorang menjadi anggota. Ini merupakan indeks keberhasilan yang digunakan seseorang untuk berperan dalam kelompok sosial dan menunjukkan derajat rasa suka anggota kelompok yang lain untuk bekerja sama atau bermain dengannya (Hurlock, 1997). Individu yang diterima secara sosial biasanya lebih mampu menerima dirinya sendiri, hal ini karena terdapat korelasi yang cukup tinggi antara social acceptence dan self acceptence sehingga dapat dikatakan bahwa individu yang mempunyai tingkat penerimaan sosial yang tinggi akan memiliki konsep diri yang positif (Centi dalam Habibah, 2000).

Sumber;
Yusuf, Syamsu, 2002. Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Bandung:Rosda Karya.

Fanatisme

Fanatisme adalah suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, pandangan yang tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah. Menurut definisinya, Fanatisme biasanya tidak rasional atau keyakinan seseorang yang terlalu kuat dan kurang menggunakan akal budi sehingga tidak menerima faham yang lain dan bertujuan untuk mengejar sesuatu. Adanya fanatisme dapat menimbulkan perilaku agresi dan sekaligus memperkuat keadaan individu yang mengalami deindividuasi untuk lebih tidak terkontrol perilakunya.

Fanatisme dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku kelompok yang tidak jarang dapat menimbulkan perilaku agresi. Individu yang fanatik akan cenderung kurang memperhatikan kesadaran sehingga seringkali perilakunya kurang terkontrol dan tidak rasional.

Pengertian Fanatisme sendiri dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam : (a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu, (b) dalam berfikir dan memutuskan, (c) dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan (d) dalam merasa secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini.

Ciri-ciri yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidakmampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah. Secara garis besar fanatisme mengambil bentuk : (a) fanatik warna kulit, (b) fanatik etnik/kesukuan, dan (c) fanatik klas sosial. Fanatik Agama sebenarnya bukan bersumber dari agama itu sendiri, tetapi biasanya merupakan kepanjangan dari fanatik etnik atau klas sosial.
Daftar Pustaka http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2010/01/19/fanatisme/

Menumbuhkan Motivasi Belajar Siswa

Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, sebagai berikut:

a. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik. Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siswa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.

b. Hadiah. Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.

c. Saingan atau kompetisi. Guru berusaha mengadakan persaingan atau kompetisi di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.

d. Pujian. Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang bersifat membangun.

e. Hukuman. Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya.

f. Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar. Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik.

g. Membentuk kebiasaan belajar yang baik.
h. Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok.
i. Menggunakan metode yang bervariasi.
j. Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Daftar Pustaka http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2010/02/11/menumbuhkan-motivasi-belajar-siswa/

Penyesuaian Diri pada Remaja

Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain, dibutuhkan adanya keselarasan diantara manusia itu sendiri. Agar hubungan interaksi berjalan baik diharapkan manusia mampu untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya, sehingga dapat menjadi bagian dari lingkungan tanpa menimbulkan masalah pada dirinya. Dengan kata lain berhasil atau tidaknya manusia dalam menyelaraskan diri dengan lingkungannya sangat tergantung dari kemampuan penyesuaian dirinya.

Penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi yang kontinyu antara diri individu sendiri, dengan orang lain dan dengan dunia luar. Ketiga faktor ini secara konstan mempengaruhi individu dan hubungan tersebut bersifat timbal balik (Calhoun dan Acocella,1976). Dari diri sendiri yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang telah ada pada diri individu, tubuh, perilaku dan pemikiran serta perasaan. Orang lain yaitu orang-orang disekitar individu yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan individu. Dunia luar yaitu penglihatan dan penciuman serta suara yang mengelilingi individu.

Proses penyesuaian diri pada manusia tidaklah mudah. Hal ini karena didalam kehidupannya manusia terus dihadapkan pada pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Periode penyesuaian diri ini merupakan suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup manusia. Manusia diharapkan mampu memainkan peran-peran sosial baru, mengembangkan sikap-sikap sosial baru dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru yang dihadapi (Hurlock,1980).

Disebutkan juga oleh Hurlock (1980) bahwa seperti halnya proses penyesuaian diri yang sulit yang dihadapi manusia secara umum, para remaja juga mengalami proses penyesuaian diri dimana proses penyesuaian diri pada remaja ini merupakan suatu peralihan dari satu tahap perkembangan ketahap berikutnya. Dalam periode peralihan ini terdapat keraguan akan peran yang akan dilakukan, namun pada periode ini juga memberikan waktu kepada remaja untuk mencoba gaya baru yang berbeda, menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya. Dengan kata lain hal ini merupakan proses pencarian identitas diri yang dilakukan oleh para remaja.

Untuk menjadikan remaja mampu berperan serta dan melaksanakan tugasnya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat tidaklah mudah, karena masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini dalam diri remaja terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada fisik, psikis, maupun sosial. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam berhubungan yang belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus banyak penyesuaian baru.

Agar penyesuaian diri yang dilakukan terhadap lingkungan sosial berhasil (well adjusted), maka remaja harus menyelaraskan antara tuntutan yang berasal dari dalam dirinya dengan tuntutan-tuntutan yang diharapkan oleh lingkungannya, sehingga remaja mendapatkan kepuasan dan memiliki kepribadian yang sehat. Misalnya sebagian besar remaja mengetahui bahwa para remaja tersebut memakai model pakaian yang sama denga pakaian anggota kelompok yang populer, maka kesempatan untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Untuk itu remaja harus mengetahui lebih banyak informasi yang tepat tentang diri dan lingkungannya.
Daftar Pustaka http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2009/04/21/penyesuaian-diri-pada-remaja/

Kekerasan dalam Pacaran (KDP)

Pacaran adalah hubungan antara pria dan wanita yang diwarnai keintiman dimana satu sama lain terlibat dalam perasaan cinta dan saling mengakui pasangannya sebagai pacar. Melalui berpacaran seseorang akan mempelajari mengenai perasaan emosional tentang kehangatan, kedekatan dan berbagi dalam hubungan dengan orang lain. Salah satu tugas perkembangan dewasa muda adalah berkisar pada pembinaan hubungan intim dengan orang lain.

Namun pada kenyataannya, seringkali terjadi bahwa pacaran yang dilakukan remaja dapat menjurus kepada hal-hal yang negatif, misalnya pacaran diiringi dengan perilaku seksual pranikah, kekerasan dalam berpacaran, bahkan tidak jarang terjadi kasus-kasus pembunuhan, perkosaan hingga maraknya kasus-kasus hubungan seksual yang direkam melalui handphone. Salah satu fenomena yang saat ini semakin banyak muncul pada hubungan berpacaran adalah kekerasan dalam pacaran (KDP).

Data kasus kekerasan yang ditangani oleh Jaringan Relawan Independen (JaRI) periode April 2002-Juni 2007, yakni, dari 263 kasus kekerasan yang masuk, ada 92% korban perempuan (sekitar 242 orang). Dimana sepertiganya merupakan kekerasan dalam pacaran (KDP). Sementara itu, kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) dan perkosaan pun menjadi kasus dominan yang ditangani Rifka Annisa Women`s Crisis Center asal Yogyakarta, setelah kekerasan terhadap istri. Selama 14 tahun terakhir, dari 3.627 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terungkap, sekitar 26 % di antaranya adalah kekerasan dalam pacaran (KDP) dan perkosaan. Rifka Annisa (2002) mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi antara bulan Januari-Juli 2002 tercatat sebanyak 248 kasus. Dimana 60 kasus merupakan kekerasan pada masa pacaran (KDP) dan perkosaan 30 kasus.

Fenomena kekerasan dalam pacaran (KDP) sebenarnya seperti gunung es. Sebab, angka-angka tersebut hanya berdasar pada jumlah kasus yang dilaporkan, padahal dalam kenyataannya, tidaklah mudah bagi korban kekerasan melaporkan kasus yang dialaminya.

Kekerasan dalam Pacaran (KDP)
Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (Domestic Violence), namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi berpacaran (Kekerasan Dalam Pacaran/KDP) atau Dating Violence). Banyak yang beranggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar.

Kekerasan dalam Pacaran (KDP) adalah perilaku atau tindakan seseorang dapat disebut sebagai tindak kekerasan dalam percintaan atau pacaran apabila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan oleh pasangannya pada hubungan pacaran. Suatu tindakan dikatakan kekerasan apabila tindakan tersebut sampai melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis, bila yang melukai adalah pacar maka ini bisa digolongkan tindak kekerasan dalam pacaran (KDP).

Sebenarnya kekerasan ini tidak hanya dialami oleh perempuan atau remaja putri saja, remaja putra pun ada yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya. Tetapi perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dianut oleh masyarakat luas. Ketidakadilan dalam hal jender selama ini telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari, bahwa seorang perempuan biasa dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya, sehingga dirasa “pantas” menerima perlakuan yang tidak wajar atau semena-mena.

Payung hukum terhadap terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan, sebetulnya sudah cukup terakomodasi melalui UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT. Namun untuk kekerasan dalam pacaran (KDP), belum ada payung hukum khusus, dan masih menggunakan KUHP sebab dianggap kasus kriminal biasa. Kekerasan dalam pacaran (KDP) bisa masuk dalam KDRT, karena kekerasan yang terjadi dalam relasi domestik, antara laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan khusus.

Hal yang khas yang sering muncul dalam kasus kasus kekerasan dalam pacaran adalah bahwa korban biasanya memang cenderung lemah, kurang percaya diri, dan sangat mencintai pasangannya. Apalagi karena sang pacar, setelah melakukan kekerasan (menampar, memukul, nonjok, dll) biasanya setelah itu menunjukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan kekerasan lagi, dan bersikap manis kepada pasangannya. Pada dasarnya, hubungan pacaran adalah sarana melatih keahlian individu dalam kepekaan, empati, kemampuan untuk mengkomunikasikan emosi dan menyelesaikan konflik serta kemampuan untuk mempertahankan komitmen. Jika individu mampu mengkomunikasikan emosi dan menyelesaikan konflik dengan baik niscaya kekerasan dalam pacaran (KDP) tidak akan terjadi. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis menduga bahwa salah satu penyebab terjadi kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah rendahnya tingkat asertivitas individu. Rendahnya asertivitas tersebut tampak ketika individu cenderung menerima segala bentuk perlakuan oleh pasangannya, meskipun sebetulnya individu merasa tersiksa. Asertif berfungsi sebagai mengkomunikasikan emosi dan menyelesaikan konflik dalam berpacaran.
Daftar Pustaka http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2010/07/07/kekerasan-dalam-pacaran-kdp/

Apa itu Electra Complex dan Oedipus Complex

Electra complex [Kompleks Electra] adalah istilah psikoanalisis yang digunakan untuk menggambarkan perasaan romantis seorang gadis terhadap ayahnya dan marah terhadap ibunya. Electra complex [Kompleks Electra] seperti halnya dengan Oedipal Complex [Kompleks Oedipus] pada laki-laki.

Menurut Sigmund Freud, perkembangan psikoseksual seorang anak perempuan pada awalnya melekat pada ibunya. Ketika ia menemukan bahwa ia tidak memiliki penis, ia menjadi melekat pada ayahnya dan mulai membenci ibunya, yang menganggap ibunya telah melakukan “pengebirian dirinya”. Freud percaya bahwa seorang anak perempuan kemudian mulai mengidentifikasi dan meniru ibunya karena takut kehilangan cinta ayahnya.

Istilah Electra Kompleks memang sering dikaitkan dengan Freud, namun sebenarnya Carl Jung telah menciptakan istilah ini pada tahun 1913. Freud sendiri menolak istilah tersebut, karena menggambarkan penyederhanaan upaya untuk memahami analogi antara sikap dari dua jenis kelamin. Freud sendiri menggunakan istilah Oedipus sebagai sebuah sikap feminin untuk menggambarkan apa yang sekarang kita sebut sebagai Electra complex [Kompleks Electra].

Oedipal Complex [kompleks Oedipus]
Oedipal Complex [kompleks Oedipus] merupakan suatu istilah yang digunakan oleh Freud dalam teorinya tentang tahap perkembangan psikoseksual untuk menggambarkan perasaan seorang anak laki-laki yang mencintai untuk ibunya, disertai rasa cemburu dan kemarahan terhadap ayahnya. Menurut Freud, anak laki-laki itu ingin memiliki ibunya dan menggantikan ayahnya, yang ia dilihat sebagai pesaing untuk mendapatkan kasih sayang ibunya. Oedipal Complex terinspirasi dari karakter di Sophocles [cerita kuno yunani] dimana ‘Oedipus Rex yang secara tidak sengaja membunuh ayahnya dan menikahi ibunya.
Daftar Pustaka http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2010/05/15/apa-itu-electra-complex-dan-oedipus-complex/

Tahapan Terjadinya Stres

Gejala-gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat, dan baru dirasakan bilamana tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di tempat kerja ataupun pergaulan lingkungan sosialnya. Dr. Robert J. Amberg (dalam Hawari, 2001) membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut :

1. Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut: 1) Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting); 2) Penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya; 3) Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis.

2. Stres tahap II
Dalam tahapan ini dampak stres yang semula “menyenangkan” sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi yang tidak lagi cukup sepanjang hari, karena tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat yang dimaksud antara lain dengan tidur yang cukup, bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang mengalami defisit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut: 1) Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya merasa segar; 2) Merasa mudah lelah sesudah makan siang; 3) Lekas merasa capai menjelang sore hari; 4) Sering mengeluh lambung/perut tidak nyaman (bowel discomfort); 5) Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar); 6) Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang; 7) Tidak bisa santai.

3. Stres Tahap III
Apabila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan pada stres tahap II, maka akan menunjukkan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu: 1) Gangguan lambung dan usus semakin nyata; misalnya keluhan “maag”(gastritis), buang air besar tidak teratur (diare); 2) Ketegangan otot-otot semakin terasa; 3) Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat; 4) Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk mulai masuk tidur (early insomnia), atau terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur (middle insomnia), atau bangun terlalu pagi atau dini hari dan tidak dapat kembali tidur (Late insomnia); 5) Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa loyo dan serasa mau pingsan). Pada tahapan ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk memperoleh terapi, atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang mengalami defisit.

3. Stres Tahap IV
Gejala stres tahap IV, akan muncul: 1) Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit; 2) Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit; 3) Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespons secara memadai (adequate); 4) Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari; 5) Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan; Seringkali menolak ajakan (negativism) karena tiada semangat dan
kegairahan; 6) Daya konsentrasi daya ingat menurun; 7) Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.

4. Stres Tahap V
Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V, yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut: 1) Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical dan psychological exhaustion); 2) Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana; 3) Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastrointestinal disorder); 4) Timbul perasaan ketakutan, kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik.

6. Stres Tahap VI
Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami stres tahap VI ini berulang dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ICCU, meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres tahap VI ini adalah sebagai berikut: 1) Debaran jantung teramat keras; 2) Susah bernapas (sesak dan megap-megap); 3) Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran; 4) Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan; 5) Pingsan atau kolaps (collapse). Bila dikaji maka keluhan atau gejala sebagaimana digambarkan di atas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh gangguan faal (fungsional) organ tubuh, sebagai akibat stresor psikososial yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya.
Daftar Pustaka http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2010/10/08/tahapan-terjadinya-stres/

Lesbianisme, Gaya Hidup atau Abnormalitas Seksual?

Di Indonesia, Lesbianisme rupanya berkembang cukup pesat dalam wilayah sosial kemasyarakatan. Kalau dulu, perempuan lesbi sebisa mungkin menyembunyikan jati dirinya, tapi saat ini mereka berhimpun dalam wadah atau organisasi yang semua orang bisa mengetahuinya. Lihat saja, grup-grup lesbian yang bertebaran di Facebook maupun situs-situs dewasa lainnya. Lantas pertanyaannya, apakah Lesbianisme saat ini menjadi gaya hidup? Bukankah lesbian merupakan abnormalitas atau penyimpangan seksual? Sebelum menyimpulkan, Blog Dunia Psikologi akan mencoba menelisik apa itu lesbianisme.

Lesbianisme tergolong dalam abnormalitas seksual yang disebabkan adanya partner-seks yang abnormal. Lesbianisme berasal sari kata Lesbos. Lesbos sendiri adalah sebutan bagi sebuah pulau ditengah Lautan Egeis, yang pada zaman kuno dihuni oleh para wanita (dalam Kartono, 1985). Homoseksualitas dikalangan wanita disebut dengan cinta yang lesbis atau lesbianisme. Memang, pada usia pubertas, dalam diri individu muncul predisposisi (pembawaan, kecenderungan) biseksuil, yaitu mencintai seorang teman puteri, sekaligus mencintai teman seorang pria.

Pada proses perkembangan remaja yang normal, biseksualitas bisa berkembang menjadi heteroseksual (menyukai lawan jenis). Sebaliknya jika prosesnya abnormal, misalnya disebabkan oleh faktor endogin atau eksogin tertentu, maka biseksualitas bisa berkembang menjadi lesbian, dan obyek-erotisnya adalah benar-benar seorang wanita. Pada umumnya, cinta seorang lesbianisme itu sangat mendalam dan lebih hebat dari pada cinta heteroseksual. Meskipun pada relasi lesbian, tidak didapatkan kepuasan seksual yang wajar. Cinta lesbian juga biasanya lebih hebat daripada cinta homoseksual diantar kaum pria.

Gejala Lesbianisme antara lain disebabkan karena wanita yang bersangkutan terlalu mudah jenuh terhadap relasi heteroseksualnya, misalnya suami atau kekasih prianya. Seorang yang lesbian tidak pernah merasakan orgasme. Penyebab yang lain adalah pengalaman traumatis terhadap seorang pria atau suami yang kejam, sehingga timbul rasa benci yang mendalam dan antipati terhadap setiap laki-laki. Kemudian ia lebih suka melakukan relasi seks dan hidup bercinta dengan seseorang wanita lain. Wanita lesbian menganggap relasi heteroseksual tidak bisa membuat dirinya bahagia, relasi seksnya dengan sesama wanita dianggap sebagai kompensasi dari rasa ketidakbahagiaannya tersebut.

Nah, baik lesbianisme pada wanita maupun homoseksualitas pada laki-laki banyak distimulir oleh hormon eksogin dan faktor lingkungan. Lantas apakah Lesbianisme merupakan sebuah gaya hidup ataukah abnormalitas seksual? Blog Dunia Psikologi menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca, dan yang mesti di ingat sebelum menyimpulkan adalah pada faktanya kaum lesbi menjadi sebuah gaya hidup para wanita ketika issue gender semakin menguat. Menuduh mereka abnormalitas seksual juga terlalu naif, karena lesbian Indonesia belum ada yang diteliti hormon penyebabnya. Bisa jadi semakin banyaknya lesbian Indonesia karena ‘ketidakmampuan’ laki-laki menempatkan perempuan dalam tempat yang seharusnya. Allah Bissawab.
Daftar Pustaka http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2010/01/23/lesbianisme-gaya-hidup-atau-abnormalitas-seksual/

Empat Anugerah Manusia dalam Teori Behavioristik

Pada dasarnya manusia memiliki anugerah yang tak terkira harganya. Hanya saja kita sebagai manusia jarang mensyukuri anugerah tersebut. Dalam psikologi pun dikenal dengan anugerah yang diberikan kepada manusia. Aliran Psikologi Behavioristik meyakini empat anugerah unik manusia sehingga membuatnya berbeda dengan mahkluk yang lain. Empat anugerah manusia tersebut antara lain :

1. Self Awareness (kesadaran diri)
Kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengambil jarak terhadap diri sendiri dan menelaah pemikiran, motif-motif, sejarah, naskah hidup, tindakan, maupun kebiasaan dan kecenderungan. Hal ini memungkinkan manusia untuk melepaskan kacamata diri. Kesadaran diri memungkinkan untuk melihat kacamata itu sendiri maupun melihat melaluinya. Ini memungkinkan manusia untuk menjadi sadar akan sejarah sosial dan psikis dari program-program yang ada dalam diri dan untuk memperluas celah antara rangsangan dan tanggapan.

2. Conscience (hati nurani)
Hati nurani menghubungkan manusia dengan kebijaksanaan jaman dan kebijaksanaan hati. Ini merupakan sistem pengarahan yang ada dalam jiwa manusia, yang memungkinkan manusia untuk memahami ketika manusia bertindak atau bahkan merenungkan sesuatu yang sejalan dengan prinsip. Ini juga memberi manusia pemahaman akan bakat-bakat khas dan misi manusia.

3. Independent Will (kebebasan kehendak)
Kehendak bebas adalah kemampuan manusia untuk bertindak. Ini memberi manusia kekuatan untuk mengatasi paradigma-paradigma diri, untuk berenang melawan arus, untuk menulis kembali naskah hidupnya, untuk bertindak atas dasar prinsip dan bukannya bereaksi atas dasar emosi dan lingkungan sekitar. Sementara pengaruh-pengaruh genetis dan lingkungan boleh jadi amat kuat, pengaruh-pengaruh itu tidak dapat mengendalikan manusia. manusia tidak menjadi korban. manusia bukan merupakan produk masa lalunya. Manusia merupakan produk dari pilihan pilihannya. Manusia dapat memberi tanggapan (response-able)—mampu memberi tanggapan, mampu memilih diseberang suasana hati dan kecondongan-kecondongannya. Manusia memiliki kekuatan kehendak untuk bertindak berdasarkan kesadaran diri, hati nurani, dan visi.

4. Creative Imagination (imajinasi kreatif)
Imajinasi kreatif adalah kemampuan untuk meneropong keadaan dimasa datang, untuk menciptakan sesuatu dibenak manusia, dan memecahkan soal secara sinergis. Ini adalah anugerah kemampuan yang memungkinkan manusia untuk melihat dari diri sendiri dan orang lain secara berbeda dan lebih baik daripada saat ini. Ini memungkinkan seseorang untuk menulis pernyataan misi pribadi, menetapkan tujuan, atau merencanakan suatu pertemuan. Ini juga membuat seseorang semakin mampu memvisualisasikan diri yang sedang menghayati pernyataah misi pribadi, bahkan dalam lingkungan yang paling menantang, dan untuk menerapkan prinsip-prinsip dalam berbagai situasi baru secara efektif.

Dengan mengembangkan dan menggunakan empat anugerah tersebut, manusia akan terberdayakan dan memiliki konsep diri yang kuat, sehingga mampu membuat pilihan sikap dan tindakan yang bijaksana atas situasi atau stimulus yang ia diterima. Sebaliknya, orang yang mengabaikan dan membiarkan empat anugerah yang ia miliki tidak berkembang, sehingga perilaku dan pilihan sikapnya tidak efektif, sehingga ia mudah untuk dikendalikan oleh lingkungan, tekanan sosial atau suasana hatinya.
Daftar Pustaka http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2010/02/08/empat-anugerah-manusia-dalam-teori-behavioristik/

Konsep Diri Positif dan Konsep Diri Negatif

Konsep diri merupakan faktor penting didalam berinteraksi. Hal ini disebabkan oleh setiap individu dalam bertingkah laku sedapat mungkin disesuaikan dengan konsep diri. Kemampuan manusia bila dibandingkan dengan mahluk lain adalah lebih mampu menyadari siapa dirinya, mengobservasi diri dalam setiap tindakan serta mampu mengevaluasi setiap tindakan sehingga mengerti dan memahami tingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan. Dengan demikian manusia memiliki kecenderungan untuk menetapkan nilai-nilai pada saat mempersepsi sesuatu. Setiap individu dapat saja menyadari keadaannya atau identitas yang dimilikinya akan tetapi yang lebih penting adalah menyadari seberapa baik atau buruk keadaan yang dimiliki serta bagaimana harus bersikap terhadap keadaan tersebut. Tingkah laku individu sangat bergantung pada kualitas konsep dirinya yaitu konsep diri positif atau konsep diri negatif.

Menurut Brooks dan Emmart (1976), orang yang memiliki konsep diri positif menunjukkan karakteristik sebagai berikut: (a) Merasa mampu mengatasi masalah. Pemahaman diri terhadap kemampuan subyektif untuk mengatasi persoalan-persoalan obyektif yang dihadapi. (b) Merasa setara dengan orang lain. Pemahaman bahwa manusia dilahirkan tidak dengan membawa pengetahuan dan kekayaan. Pengetahuan dan kekayaan didapatkan dari proses belajar dan bekerja sepanjang hidup. Pemahaman tersebut menyebabkan individu tidak merasa lebih atau kurang terhadap orang lain. (c) Menerima pujian tanpa rasa malu. Pemahaman terhadap pujian, atau penghargaan layak diberikan terhadap individu berdasarkan dari hasil apa yang telah dikerjakan sebelumnya. (d) Merasa mampu memperbaiki diri. Kemampuan untuk melakukan proses refleksi diri untuk memperbaiki perilaku yang dianggap kurang.

Sedangkan orang yang memiliki konsep diri yang negatif menunjukkan karakteristik sebagai berikut: (a) Peka terhadap kritik. Kurangnya kemampuan untuk menerima kritik dari orang lain sebagai proses refleksi diri. (b) Bersikap responsif terhadap pujian. Bersikap yang berlebihan terhadap tindakan yang telah dilakukan, sehingga merasa segala tindakannya perlu mendapat penghargaan. (c) Cenderung merasa tidak disukai orang lain. Perasaan subyektif bahwa setiap orang lain disekitarnya memandang dirinya dengan negatif. (d) Mempunyai sikap hiperkritik. Suka melakukan kritik negatif secara berlebihan terhadap orang lain. (e) Mengalami hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Merasa kurang mampu dalam berinteraksi dengan orang-orang lain.

Sumber ; Brooks, W.D., Emmert, P. Interpersonal Community. Iowa. Brow Company Publisher. 1976

Pentingnya Kontrol Diri

Perubahan-perubahan sosial yang cepat (rapid sosial change) sebagai konsekuensi modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi telah mempengaruhi perilaku, nilai-nilai moral, etika, dan gaya hidup (value sistem and way of life).

Keberadaan hawa nafsu disamping memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, juga dapat melahirkan madlarat (ketidaknyamanan, atau kekacauan dalam kehidupan, baik personal maupun sosial). Kondisi ini terjadi apabila hawa nafsu tidak dikendalikan atau dikontrol, karena memang sifat yang melekat pada hawa nafsu adalah mendorong (memprovokasi) manusia kepada keburukan atau kejahatan (dalam Psikologi Belajar Agama, 2003).

Menurut Fachrurozi (dalam Jawa Pos, 2004) kegilaan masyarakat saat ini adalah personifikasi atas kegilaan yang dialami sebagai implikasi dari modernitas, bahwa modernitas, disamping melahirkan kemajuan dalam berbagai aspek (teknologi informasi, ekonomi, politik, sosial, dan budaya), ternyata juga melahirkan kegilaan atau gangguan kejiwaan. Diharapkan setiap individu mampu mengontrol diri terhadap setiap perubahan yang terjadi.

Tindakan-tindakan tidak terkontrol sering dikaitkan dengan remaja, karena seringkali bentuk perkelahian dilakukan oleh para remaja, sehingga perkelahian antar remaja sudah menjadi fenomena yang biasa di masyarakat luas terutama di kota-kota besar, perkelahian ini biasanya dipicu oleh masalah-masalah yang sepele, seperti bersenggolan di jalan, atau saling pandang yang ditafsirkan sebagai bentuk menantang, dan biasanya berakhir dengan perkelahian, perkelahian antar remaja pada awalnya hanya melibatkan dua individu kemudian berkembang menjadi perkelahian antar kelompok.

Menurut Lewin (dalam Winarno, 2003) kondisi tersebut dikarenakan dalam kelompok terdapat sifat interdependen antar anggota dan kondisi seperti itu berpeluang menjadi konflik SARA, dikarenakan Indonesia terdiri berbagai macam suku, agama, ras, yang berbeda-beda, sehingga individu akan merasa cemas, tidak aman, dan mudah tersulut emosi bila kontrol diri individu kurang. Oleh karena itu, kontrol diri diperlukan untuk mengontrol emosi yamg berasal dari dalam dan luar individu sebagai bentuk sosialisasi yang wajar.

Menurut Drever, kontrol diri adalah kontrol atau pengendalian yang dijalankan oleh individu terhadap perasaan-perasaan, gerakan-gerakan hati, tindakan-tindakan sendiri, sedangkan Goleman (dalam Sarah, 1998) mengartikan bahwa kontrol diri sebagai kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan dengan pola sesuai dengan usia. Bander (dalam Sarah, 1998) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu dalam mengendalikan tindakan yang ditandai dengan kemampuan dalam merencanakan hidup, maupun frustasi-frustasi dan mampu menahan ledakan emosi. Masa-masa remaja ditandai dengan emosi yang mudah meletup atau cenderung untuk tidak dapat mengkontrol dirinya sendiri, akan tetapi tidak semua remaja mudah tersulut emosinya atau tidak mampu untuk mengkontrol dirinya, pada remaja tertentu juga sudah matang dalam artian mampu mengkontrol setiap tindakan yang dilakukannya.
Daftar Pustaka http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2009/09/01/pentingnya-kontrol-diri/

Pengertian Anak Luar Biasa (anak tuna)

Pada mulanya istilah anak cacat digunakan untuk menyebut seorang anak yang mempunyai satu atau lebih kelainan yang dimiliki pada diri anak tersebut baik itu kelainan fisik, kelainan mental atau kelainan tingkah laku. Kemudian Sub Direktorat Pembinaan SLB menetapkan istilah anak luar biasa untuk mengganti istilah cacat tersebut karena dianggap terlalu kasar dan dapat merusak perasaan anak yang bersangkutan.

Dalam perkembangannya timbul istilah lain yaitu anak berkelainan atau anak tuna. Dalam buku yang berjudul Lexikana Universal Encyclopedia dijelaskan bahwa Pengertian Anak Luar Biasa atau istilah ketunaan digunakan untuk menunjukkan adanya kerusakan fisik atau kelemahan mental yang sekarang lebih sering digunakan untuk menjelaskan adanya kelemahan, gangguan atau hambatan dalam segi mental, fisik atau emosi yang begitu berat sehingga mengakibatkan keterbatasan bagi mereka dalam melakukan aktivitas.

Klasifikasi Anak Tuna
Dalam perkembangannya anak tuna sangat beraneka ragam sekali macam klasifikasinya bila dilihat dari kelainan yang dimilikinya. Menurut Hidayat ( 1998 ) yang digolongkan sebagai anak luar biasa adalah semua anak yang menampakan penyimpangan yang demikian jauh dari keadaan yang dianggap normal atau biasa.

Adapun mengenai ciri - ciri kelainan yang dimilikinya tersebut antara lain digolongkan sebagai berikut : a) Kelainan fisik : penyimpangan yang dimiliki oleh anak tersebut yang ditampakkan oleh kelainan secara fisik yang dimilikinya tersebut ( tunanetra, tunarungu, tunadaksa ); b) Kelainan mental : penyimpangan yang dimiliki oleh anak tersebut yang ditampakkan oleh kelainan secara mental atau kejiwaan yang dimilikinya tersebut ( tunagrahita ); c) Kelainan perilaku : penyimpangan yang dimiliki oleh anak tersebut yang ditampakkan oleh kelainan emosi, sikap dan bahkan tingkah laku yang dimilikinya tersebut ( tunalaras ).

Sumber: Hidayat, 1998. Kontribusi Orang Tua dalam Memberdayakan Anak Luar Biasa. Makalah dalam Seminar nasional Pemberdayaan Kemandirian anak luar Biasa menyongsong Abad XXI. 8 mei 1998. Jurusan KTP FIP IKIP MALANG.

Definisi Kecemasan, Apa itu Kecemasan?

Lazarus (1969), kecemasan merupakan suatu respon dari pengalaman yang dirasa tidak menyenangkan dan di ikuti perasaan gelisah, khawatir, dan takut. Kecemasan merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang karena melibatkan faktor perasaan yang tidak menyenangkan yang sifatnya subjektif dan timbul karena menghadapi tegangan, ancaman kegagalan, perasaan tidak aman dan konflik dan biasanya individu tidak menyadari dengan jelas apa yang menyebabkan ia mengalami kecemasan.

The New Encyclopedia Britannica (1990) kecemasan atau anxiety adalah suatu perasaan takut, kekuatiran atau kecemasan yang seringkali terjadi tanpa ada penyebab yang jelas. Kecemasan dibedakan dari rasa takut yang sebenarnya, rasa takut itu timbul karena penyebab yang jelas dan adanya fakta-fakta atau keadaan yang benar-benar membahayakan, sedangkan kecemasan timbul karena respon terhadap situasi yang kelihatannya tidak menakutkan, atau bisa juga dikatakan sebagai hasil dari rekaan, rekaan pikiran sendiri (praduga sbuyektif), dan juga suatu prasangka pribadi yang menyebabkan seseorang mengalami kecemasan.

Pendekatan-pendekatan kecemasan :

1. Psikoanalitik menyatakan bahwa sumber-sumber kecemasan adalah adanya suatu konflik bawah sadar. Freud meyakini bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik antara dorongan-dorongan id dan desakan-desakan ego, dan superego. Dorongan ini dapat merupakan ancaman bagi setiap individu karena berlawanan dengan nilai-nilai personal dan social (Atkinson, dkk, 1983 : 431-432).
2. Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang dibiaskan terhadap stimuli lingkungan spesifik. Pengertian kognitif keadaan kecemasan nonfobik menyatakan bahwa pola berpikir yang salah, terdistorsi, atau tidak produktif (counterproductive) menyertai atau mendahului perilaku maladaptive dan gangguan emosional. Subjek yang menderita gangguan kecemasan cenderung menilai lebih (overestimate) terhadap derajat bahaya dan kemungkinan bahaya di dalam situasi tertentu dan cenderung menilai rendah (underestimate) kemampuan dirinya untuk mengatasi ancaman yang datang kepada kesehatan fisik dan psikologisnya.

Sue (dalam Herber dan Runyon, 1984) membagi kecemasan dalam empat cara, yaitu :
1. Cara kognif yaitu dapat berubah dari rasa khawatir hingga panik, preokupasi pada bahaya yang tidak mengenakkan untuk diketahui, ketidakmampuan berkonsentrasi dan mengambil keputusan, dan sulit tidur.
2. Cara motorik yaitu sering menunjukkan gerakan-gerakan tidak beratur, gemetar, individu sering menunjukkan beberapa perilaku seperti gelisah, melangkah mondar-mandir, menggigit-gigiti bibir dan kuku, dan gugup.
3. Cara otomatis yaitu perubahan pada sistem saraf otonom dan sering direfleksikan dalam bentuk sesak nafas, mulut kering, tangan dan kaki jadi dingin, sering buang air kecil, jantung berdebar-debar, tekanan darah meningkat, keringat berlebihan, ketegangan otot dan gangguan pencernaan.
4. Cara afektif yaitu seperti merasa tidak enak dan khawatir mengenai bahaya yang akan datang.

Tipe Kecemasan :

1. Maramis (1990) membagi kecemasan menjadi 3 bagian :
2. kecemasan yang mengambang (free floating anxiety), kecemasan yang menyerap dan tidak ada hubungannya dengan suatu pemikiran.
3. Agitasi, kecemasan yang disertai kegelisahan motorik yang hebat.
4. Panik, serangan kecemasan yang hebat dengan kegelisahan dan kebingungan serta hiperaktifitas yang tidak terkontrol.

Freud (dalam Suryabrata, 1982), membagi kecemasan berdasarkan sumbernya :

1. kecemasan neurotis yang timbul karena id (rangsangan insting yang menuntut pemuasan segera) muncul sebagai suatu rangsangan yang mendorong ego untuk melakukan hel-hal yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Ciri kecemasan neurotic yang dapat dilihat dengan jelas adalah ketakutan yang tegang dan tidak rasional phobia).
2. kecemasan moral, individu yang superego berkembang baik cenderung untuk merasa berdosa apabila ia melakukan atau bahkan berpikir untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma moral. Kecemasan moral ini juga mempunyai dasar dalam realitas karena dimasa yang lampau orang telah mendapatkan hukuman sebagai akibat dari perbuatan yang melanggar kode moral dan mungkin akan mendapatkan hukuman lagi.
3. kecemasan realistis, kecemasan yang timbul karena adanya ancaman dari dunia luar. Kecemasan ini sering kali di interpretasikan sebagai rasa takut. Kecemasan realistis ini adalah kecemasan yang paling pokok sedangkan dua kecemasan yang lain (neurotik dan moral) berasal dari kecemasan ini.

Freud (Hillgrad & Atkinson, 1979), membagi kecemasan menjadi dua bagian :

1. Kecemasan objektif, kecemasan ini dinilai Freud sebagai suatu respon yang tidak relistik terhadap bahaya eksternal yang mulanya sama dengan rasa takut.
2. kecemasan neurotis, kecemasan yang timbul dari konflik alam bawah sadar dalam diri individu karena konflik itu tidak disadari, individu tidak mengatahui alasan kecemasannya.
Daftar Pustaka http://www.psikologizone.com/definisi-kecemasan-apa-itu-kecemasan

Teori Kognitif Psikologi Perkembangan Jean Piaget

Pakar psikologi Swiss terkenal yaitu Jean Piaget (1896-1980), mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Piaget yakin bahwa anak-anak menyesuaikan pemikiran mereka untuk menguasai gagasan-gagasan baru, karena informasi tambahan akan menambah pemahaman mereka terhadap dunia.

Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari perkembangan dunia individu, yaitu pengorganisasian dan penyesuaian. Untuk membuat dunia kita diterima oleh pikiran, kita melakukan pengorganisasian pengalaman-pengalaman yang telah terjadi. Piaget yakin bahwa kita menyesuaikan diri dalam dua cara yaitu asimiliasi dan akomodasi.

Asimilasi terjadi ketika individu menggabungkan informasi baru ke dalam pengetahuan mereka yang sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah terjadi ketika individu menyesuaikan diri dengan informasi baru.

Seorang anak 7 tahun dihadapkan dengan palu dan paku untuk memasang gambar di dinding. Ia mengetahui dari pengamatan bahwa palu adalah obyek yang harus dipegang dan diayunkan untuk memukul paku. Dengan mengenal kedua benda ini, ia menyesuaikan pemikirannya dengan pemikiran yang sudah ada (asimilasi). Akan tetapi karena palu terlalu berat dan ia mengayunkannya dengan keras maka paku tersebut bengkok, sehingga ia kemudian mengatur tekanan pukulannya. Penyesuaian kemampuan untuk sedikit mengubah konsep disebut akomodasi.

Piaget mengatakan bahwa kita melampui perkembangan melalui empat tahap dalam memahami dunia. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berpikir yang berbeda. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut:

Tahap sensorimotor (Sensorimotor stage), yang terjadi dari lahir hingga usia 2 tahun, merupakan tahap pertama piaget. Pada tahap ini, perkembangan mental ditandai oleh kemajuan yang besar dalam kemampuan bayi untuk mengorganisasikan dan mengkoordinasikan sensasi (seperti melihat dan mendengar) melalui gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan fisik.

Tahap praoperasional (preoperational stage), yang terjadi dari usia 2 hingga 7 tahun, merupakan tahap kedua piaget, pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Mulai muncul pemikiran egosentrisme, animisme, dan intuitif. Egosentrisme adalah suatu ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif seseorang dengan perspektif oranglain dengan kata lain anak melihat sesuatu hanya dari sisi dirinya.

Animisme adalah keyakinan bahwa obyek yang tidak bergerak memiliki kualiatas semacam kehidupan dan dapat bertindak. Seperti sorang anak yang mengatakan, “Pohon itu bergoyang-goyang mendorong daunnya dan daunnya jatuh.” Sedangkan Intuitif adalah anak-anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin mengetahui jawaban atas semua bentuk pertanyaan. Mereka mengatakan mengetahui sesuatu tetapi mengetahuinya tanpa menggunakan pemikiran rasional.

Tahap operasional konkrit (concrete operational stage), yang berlangsung dari usia 7 hingga 11 tahun, merupakan tahap ketiga piaget. Pada tahap ini anak dapat melakukan penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan ke dalam cotoh-contoh yang spesifik atau konkrit.

Tahap operasional formal (formal operational stage), yang terlihat pada usia 11 hingga 15 tahun, merupakan tahap keempat dan terkahir dari piaget. Pada tahap ini, individu melampaui dunia nyata, pengalaman-pengalaman konkrit dan berpikir secara abstrak dan lebih logis.

Sebagai pemikiran yang abstrak, remaja mengembangkan gambaran keadaan yang ideal. Mereka dapat berpikir seperti apakah orangtua yang ideal dan membandingkan orangtua mereka dengan standar ideal yang mereka miliki. Mereka mulai mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan bagi masa depan dan terkagum-kagum terhadap apa yang mereka lakukan.

Perlu diingat, bahwa pada setiap tahap tidak bisa berpindah ke ketahap berikutnya bila tahap sebelumnya belum selesai dan setiap umur tidak bisa menjadi patokan utama seseorang berada pada tahap tertentu karena tergantung dari ciri perkembangan setiap individu yang bersangkutan. Bisa saja seorang anak akan mengalami tahap praoperasional lebih lama dari pada anak yang lainnya sehingga umur bukanlah patokan utama.

Daftar Pustaka

Santrok, John W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Sabtu, 08 Januari 2011

Membangkitkan Gairah Kerja

kategori : pendidikan
oleh : kcm
tahun : 2005

Apakah hidup Anda bergairah? Puas dengan pilihan yang Anda ambil

dalam kehidupan dan karier Anda?



Banyak orang beranggapan, gairah dan bekerja tidak dapat dicampur.

Mereka bahkan berpikir, bekerja untuk hidup dan cari makan. Bukan

untuk memberi makan jiwa kita.

Jelas, pendapat tersebut keliru.



Pada kenyataannya, gairah dan kehidupan adalah hal pokok yang harus

diprioritaskan. Dengan gairah, bakat Anda termotivasi. Gairah adalah

suatu karunia dan yang terpenting gairah membuat Anda menjadi "siapa

diri Anda". Gairah Anda adalah kekuatan dan enerji Anda. Gairah

merupakan bagian dari diri Anda yang memotivasi untuk melakukan apa

yang ingin Anda lakukan.



Yang jadi masalah, banyak orang mengabaikan gairah mereka pada saat

harus memilih dalam karier. Stres karena deadline dan bermacam-macam

keadaan di kantor yang menimbulkan kekesalan, membuat kita mulai

mengabaikan gairah. Tetapi, gairah murni tetap ada dalam diri Anda

dan kadang memang harus digali dan diihidupkan lagi.



Caranya?



Simak saja saran-saran berikut.



1. Cermin Masa Lalu



Salah satu cara yang paling bagus untuk mengidentifikasi gairah nyata

Anda adalah dengan memikirkan hidup Anda, Terutama mengingat masa

kanak-kanak dan mengidentifikasi hal-hal yang Anda sukai. Apa yang

membuat Anda sangat gembira? Apa yang dapat Anda peroleh dengan

mudah?



Coba, deh, ingat-ingat hal-hal yang Anda sukai waktu masa sekolah

atau permainan favorit saat kecil. Jika gemar main boneka, mungkin

Anda menyimpan bakat terpendam yang menunggu saat yang tepat untuk

ditampilkan. Begitu Anda dapat mengidentifikasi kegemaran Anda, maka

Anda pun tahu bagaimana memanfaatkannya. Sebagai contoh, orang yang

senang tampil dapat menemukan peluangnya dengan bekerja sebagai

presenter, pembicara. Ingat, gairah kita terpampang di depan kita!



2. Identifikasi Impian



Jika ingin menggali gairah, Anda perlu mengidentifikasi "mimpi" Anda.

Buatlah daftar hal-hal yang sangat ingin dilakukan, hal-hal yang

kalau Anda lakukan tidak akan merugikan bagi Anda. Jelas, Anda harus

berani menghadapi tantangan-tantangan. Mungkin Anda bermimpi menjadi

penari terkenal. Dengan demikian, Anda akan termotivasi mengikuti

kursus menari.



Jangan lupakan catatan daftar mimpi Anda dan jangan pernah

berpikir "tidak mungkin" karena dengan mempunyai mimpi, Anda akan

termotivasi untuk mewujudkan cita-cita Anda.



3. Cari Peluang



Coba ambil katalog kursus, lihat kursus apa yang ditawarkan dan beri

tanda pada bagian yang menarik buat Anda. Beri kesempatan pada diri

sendiri untuk mengikuti kursus yang Anda minati. Bila tertarik pada

seni, ikuti kursus mengenai seni. Bila ingin jadi fotografer, ikuti

kursus mengenai fotografi. Lakukanlah sesuatu sesuai dengan minat

Anda. Apakah itu menari, menyanyi, atau menulis. Anda harus berani

melakukan dan mencoba sesuatu yang baru.



4. Bangun Dunia & Gaya Hidup



Setiap orang harus berani melakukan hal-hal yang memotivasi dirinya

dan yang memberi ilham. Setiap manusia punya pembawaan sejak lahir,

demikian juga halnya dengan gairah. Gairah merupakan suatu benih dari

dalam diri kita. Jika gairah ini tidak digali, maka bakat yang ada

dalam diri kita tidak akan pernah tumbuh. Tetapi jika gairah digali

dan dikembangkan di lingkungan yang sesuai, Anda akan sukses dan

menjadi orang seperti yang Anda idam-idamkan.


Memang, perlu waktu untuk menggali gairah dan mengembangkannya. Yang

diperlukan adalah kemauan untuk mengembangkannya. " Hidup ini

bukanlah suatu latihan." Diri Anda sendirilah yang dapat membuat

hidup Anda bahagia atau tidak. (Nova)

Impian Selektif Itu Perlu

kategori : pendidikan
oleh : ennie S. Bev
tahun : 2005


Bermimpi, selain indah, juga memacu motivasi. Misalnya saja, saya
pernah bermimpi menjadi penulis, bahkan ini pernah menjadi isi dari
doa-doa saya. Jelas, mimpi memberikan blue print bagi masa depan.
Sekarang hampir semua impian saya sudah menjadi kenyataan.

Celakanya, banyak orang yang tidak mengimbangi impian mereka dengan
usaha yang seimbang dengan kadar "kedalaman" impian mereka. Ada
beberapa dari kenalan saya yang cukup tinggi impiannya. Ada satu yang
ingin sekali menjadi seorang profesor, namun semangat belajarnya
benar-benar bisa dibilang jauh di bawah rata-rata ("malas ah," begitu
istilah yang digunakannya). Dalam waktu lima tahun, belum setengah
program asssociate degree (setara D2 di Indonesia) yang
diselesaikannya, namun ia sangat sering mengutarakan keinginannya
untuk menjadi profesor dan menulis biografi hidupnya. Tentu saja
impian mulia ini saya dukung penuh.

Ada lagi yang sangat bercita-cita menjadi pengusaha sukses namun ia
sangatlah takut untuk memulai sesuatu yang baru, apalagi memulai
bisnis. Alasannya karena ia bukanlah seorang pebisnis alami, sehingga
proses belajarnya sangatlah panjang. Sekali lagi, saya sangat
mendukungnya. Malah saya pernah menawarkannya untuk meninjau tempat
kerja saya dan bagaimana saya melakukan kegiatan-kegiatan
entrepreneur saya (semacam menjadi apprentice-lah). Sayangnya, sekali
lagi ketakutan menjadi penghalang.

Bermimpi memang penting. Seperti halnya saya berangkat ke Negeri
Paman Sam dengan semangat merantau yang pantang menyerah, impian saya
untuk menjadi seorang penulis berbahasa Inggris sudah tercapai.
Bahkan dengan prestasi finalis EPPIE Award, saya sudah melampaui
impian ini. Dengan menerbitkan satu buku setiap dua bulan sekali,
jelas ini sudah bukan impian lagi.

Sekarang, impian saya adalah menjadi self-made millionaire di Silicon
Valley dengan perusahaan dot-com "late bloomer" yang saya dirikan
dengan suami (belum "billionaire" macam Bill Gates dan Larry
Ellison), tampaknya sudah sangat dekat. Demikian pula dengan impian
saya untuk mendirikan institusi training (atau sekolah) sendiri, yang
dalam beberapa bulan lagi sudah akan tercapai.

Ini semua adalah berkat keberanian untuk bermimpi dan keberanian
untuk mematahkan kemalasan dan ketakutan. Kedua kenalan saya yang di
atas mempunyai impian-impian besar yang sayangnya, tidak dibarengi
dengan keberanian untuk mematahkan kemalasan dan ketakutan. Bagi
mereka, impian hanyalah sekedar pengisi hati yang kadang kala hampa.

Bagi lebih banyak lagi orang, impian hanyalah impian. "Namanya juga
ngimpi, nggak bakal jadi kenyataan deh." After all, semua yang
diimpikan hanya terjadi di kala tidur, bukan?

Sayang, sekali lagi sayang. Bermimpi secara selektif yang dibarengi
dengan keberanian untuk menaklukkan kemalasan dan ketakutan adalah
inti dari mindset sukses seseorang.

Jadikan impian paralel dengan usaha yang Anda masukkan ke dalamnya,
bukan sebaliknya. Jalanlah terus di rel kereta api tujuan, jangan
mudah ganti-ganti. Intinya adalah tetaplah bermimpi, namun bermimpi
akan hal yang sama terus-menerus sampai hal itu tercapai. (Ini akan
menjadi self-hypnosis bagi alam bawah sadar Anda.)

Kerahkan semua enerji dengan kesadaran (awareness) penuh. Lawanlah
kemalasan dan ketakutan, karena itulah dua musuh utama dari impian
yang tidak menjadi nyata.

Potensi Diri: Mengubah

kategori : pendidikan
oleh : Lisa Nuryanti
tahun : 2005


Selly memang sudah cukup lama bekerja sebagai sekretaris di
perusahaan itu. Atasannya sangat otoriter sehingga Selly sering
merasa tertekan. Semua diukur sesuai dengan emosi sesaat.

Kesalahan-kesalahan kecil dapat membuat atasannya marah dan meledak- ledak. Apalagi kalau sampai Selly tidak dapat segera menemukan
dokumen yang diminta oleh atasannya, wah bisa-bisa Selly sakit hati
mendengar ucapan beliau. Padahal seringkali bukan karena salah Selly.

Ia sudah pernah menyerahkan dokumen itu ke tangan atasannya, tapi
beliau kini kembali minta dokumen tersebut. Entah lupa menaruh atau
memang hilang. Tapi atasannya selalu minta foto kopi dokumen itu
lagi. Pernah Selly mencoba mengingatkan bahwa dokumen tersebut sudah
pernah diserahkannya dan belum kembali ke tangannya, tapi
penjelasannya tidak membantu. Atasannya tetap minta yang baru.

Akhirnya Selly belajar menangani masalah seperti ini. Ia selalu siap
dengan satu foto kopi ekstra dari semua dokumen penting.

Apabila atasannya meminta dokumen tertentu, maka ia segera membuat
salinannya sebelum menyerahkan dokumen tersebut, supaya seandainya
lain kali diperlukan, ia tidak perlu bingung mencarinya. Dengan
demikian ia selalu siap dengan dokumen apapun yang diminta, sehingga
stresnya berkurang. Ia mengubah cara kerjanya, ia mengubah dirinya
sendiri.

Waktu pertama kali bekerja dulu, ia seringkali menangis. Bahkan ia
pernah tidak dapat tidur nyenyak dan tidak dapat menikmati makanannya
selama berhari-hari gara-gara dimarahi. Berat badannya turun 3
kilogram dalam waktu dua bulan.

Sampai suatu hari Selly menyadari bahwa ia merugikan dirinya sendiri.
Karena itu Selly mulai belajar membedakan antara masalah pribadi dan
masalah pekerjaan. Ia belajar untuk tidak mencampuradukkan keduanya.
Ia mulai bisa melihat lebih positif.

Koreksi diri sendiri
Sekarang ia tidak stres dan sakit-sakitan lagi. Ia tidak dapat
mengubah atasannya, tapi ia dapat mengubah dirinya sendiri.

Salim sangat ambisius. Ia berambisi untuk menduduki jabatan tertinggi
dalam perusahaan tempatnya bekerja. Sayangnya jabatan itu telah
terisi oleh Teddi yang telah lebih lama bekerja di sana. Salim
kecewa. Ia berusaha mencari kelemahan Teddi.

Setiap hari ia datang menawarkan bantuan, tapi sebenarnya ia mencari
kelemahan Teddi. Tentu saja tak ada manusia yang sempurna. Teddi agak
kurang teliti dengan angka.

Segera saja Salim berusaha menonjolkan kelemahan Teddi. Ketika Teddi
membuat perkiraan penjualan dan tanpa sengaja membuat kesalahan
perhitungan, Salim segera membesar-besarkan hal itu. Ia menunjukkan
kesalahan itu kepada para pemegang saham. Ia menonjolkan bahwa ia
sendiri tak akan berbuat kesalahan yang sama.

Tentu saja pemegang saham juga bukan orang yang mudah dipengaruhi.
Mereka tidak menanggapi hal itu sebagai sesuatu yang terlalu serius
karena perkiraan penjualan itu memang masih dalam tahap awal yang
berupa gambaran kasar.

Akibatnya sikap Salim yang negatif justru merugikan dirinya sendiri.
Hatinya dipenuhi rasa iri dan pikiran negatif yang ingin menjatuhkan
orang lain, iapun menjadi kurang fokus terhadap tugas-tugasnya
sendiri. Tak berapa lama Salim mulai sering mendapat teguran karena
banyak tugas yang tidak selesai pada waktunya. Ia ingin mengubah
keadaan sekelilingnya. Ia tidak mulai dengan mengubah dirinya
sendiri.

Ketika Putri mulai bekerja ia mengharapkan banyak sekali. Ia
menargetkan promosi jabatan dalam waktu dua tahun ke jajaran
supervisor. Boleh dong. Tapi ketika mulai memasuki tahun kedua, Putri
melihat bahwa prestasinya kalah dibandingkan Devi. Penjualan Devi
selalu lebih baik setiap bulan. Memang pernah dua kali Putri lebih
bagus, tapi kebanyakan Devi lah yang menang.

Putri mulai melihat ancaman. Apalagi atasannya mulai sering memuji
Devi. Apabila atasannya pergi bertugas ke luar kota, maka Devi lah
yang diserahi 'tanggung jawab' untuk mengurus segala sesuatu.

Putri mulai tidak suka terhadap Devi, tapi ia tidak dapat mengubah
penilaian atasan terhadap Devi. Untunglah, meskipun Putri tidak puas,
ia tidak mau menggunakan cara-cara yang tidak terpuji seperti
memfitnah atau menjatuhkan Devi.

Putri frustasi sendiri melihat gelagat bahwa Devi kemungkinan besar
akan diangkat menjadi supervisor, bukan dirinya sendiri. Tapi
kemudian Putri ingat bahwa ia tidak mungkin dapat mengubah pandangan
atasan terhadap Devi. Satu-satunya hal yang dapat dilakukannya adalah
merubah pandangan atasan terhadap dirinya.

Maka Putri mulai berfokus pada pekerjaannya. Ia mencari jalan untuk
meningkatkan penjualannya setiap bulan. Usahanya menunjukkan hasil
karena empat bulan kemudian ia melebihi Devi.

Setelah itu mereka sering bergantian menang setiap bulannya. Memang
dalam hal kedewasaan dan pengalaman, Devi tetap lebih unggul, tapi
hal itu tidak mengecilkan hati Putri.

Ia tidak lagi ingin mengubah orang lain. ia hanya ingin mengubah
dirinya sendiri menjadi lebih baik. Do not try to change other
people! Change yourself! Be better! Good luck!