Sabtu, 08 Januari 2011

Impian Selektif Itu Perlu

kategori : pendidikan
oleh : ennie S. Bev
tahun : 2005


Bermimpi, selain indah, juga memacu motivasi. Misalnya saja, saya
pernah bermimpi menjadi penulis, bahkan ini pernah menjadi isi dari
doa-doa saya. Jelas, mimpi memberikan blue print bagi masa depan.
Sekarang hampir semua impian saya sudah menjadi kenyataan.

Celakanya, banyak orang yang tidak mengimbangi impian mereka dengan
usaha yang seimbang dengan kadar "kedalaman" impian mereka. Ada
beberapa dari kenalan saya yang cukup tinggi impiannya. Ada satu yang
ingin sekali menjadi seorang profesor, namun semangat belajarnya
benar-benar bisa dibilang jauh di bawah rata-rata ("malas ah," begitu
istilah yang digunakannya). Dalam waktu lima tahun, belum setengah
program asssociate degree (setara D2 di Indonesia) yang
diselesaikannya, namun ia sangat sering mengutarakan keinginannya
untuk menjadi profesor dan menulis biografi hidupnya. Tentu saja
impian mulia ini saya dukung penuh.

Ada lagi yang sangat bercita-cita menjadi pengusaha sukses namun ia
sangatlah takut untuk memulai sesuatu yang baru, apalagi memulai
bisnis. Alasannya karena ia bukanlah seorang pebisnis alami, sehingga
proses belajarnya sangatlah panjang. Sekali lagi, saya sangat
mendukungnya. Malah saya pernah menawarkannya untuk meninjau tempat
kerja saya dan bagaimana saya melakukan kegiatan-kegiatan
entrepreneur saya (semacam menjadi apprentice-lah). Sayangnya, sekali
lagi ketakutan menjadi penghalang.

Bermimpi memang penting. Seperti halnya saya berangkat ke Negeri
Paman Sam dengan semangat merantau yang pantang menyerah, impian saya
untuk menjadi seorang penulis berbahasa Inggris sudah tercapai.
Bahkan dengan prestasi finalis EPPIE Award, saya sudah melampaui
impian ini. Dengan menerbitkan satu buku setiap dua bulan sekali,
jelas ini sudah bukan impian lagi.

Sekarang, impian saya adalah menjadi self-made millionaire di Silicon
Valley dengan perusahaan dot-com "late bloomer" yang saya dirikan
dengan suami (belum "billionaire" macam Bill Gates dan Larry
Ellison), tampaknya sudah sangat dekat. Demikian pula dengan impian
saya untuk mendirikan institusi training (atau sekolah) sendiri, yang
dalam beberapa bulan lagi sudah akan tercapai.

Ini semua adalah berkat keberanian untuk bermimpi dan keberanian
untuk mematahkan kemalasan dan ketakutan. Kedua kenalan saya yang di
atas mempunyai impian-impian besar yang sayangnya, tidak dibarengi
dengan keberanian untuk mematahkan kemalasan dan ketakutan. Bagi
mereka, impian hanyalah sekedar pengisi hati yang kadang kala hampa.

Bagi lebih banyak lagi orang, impian hanyalah impian. "Namanya juga
ngimpi, nggak bakal jadi kenyataan deh." After all, semua yang
diimpikan hanya terjadi di kala tidur, bukan?

Sayang, sekali lagi sayang. Bermimpi secara selektif yang dibarengi
dengan keberanian untuk menaklukkan kemalasan dan ketakutan adalah
inti dari mindset sukses seseorang.

Jadikan impian paralel dengan usaha yang Anda masukkan ke dalamnya,
bukan sebaliknya. Jalanlah terus di rel kereta api tujuan, jangan
mudah ganti-ganti. Intinya adalah tetaplah bermimpi, namun bermimpi
akan hal yang sama terus-menerus sampai hal itu tercapai. (Ini akan
menjadi self-hypnosis bagi alam bawah sadar Anda.)

Kerahkan semua enerji dengan kesadaran (awareness) penuh. Lawanlah
kemalasan dan ketakutan, karena itulah dua musuh utama dari impian
yang tidak menjadi nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar