Sabtu, 08 Januari 2011

Anak Sulit Bangun Pagi

kategori : anak
oleh : tabliod nova
tahun ; 2003

Padahal tak lama lagi ia akan masuk “sekolah”. Bisa-bisa setiap pagi terjadi “perang” di rumah. Nah, bagaimana menyiasatinya?

Duh, susahnya membangunkan si kecil. Padahal, tak lama lagi ia akan masuk “sekolah”. Jikapun ia beranjak juga dari tempat tidur -dengan mata setengah terbuka-, bukannya langsung masuk ke kamar mandi, malah berhenti di depan sofa dan melanjutkan tidurnya.

Kalau saja “sekolah” baru dimulai beberapa bulan lagi, mungkin perilaku si kecil yang demikian masih bisa kita tolerir. Toh, masih cukup banyak waktu untuk si kecil belajar bangun pagi, sehingga kita tak perlu tergesa-gesa melatihnya. Masalahnya, “sekolah” sudah di ambang pintu. Kalau enggak dari sekarang dilatih, apa jadinya nanti begitu tiba saat masuk “sekolah”? Belum lagi kalau kita juga harus berangkat ke kantor. Sementara hari makin meninggi dan si kecil belum juga bangun, bisa-bisa tiap pagi terjadi “perang” di rumah kita. Runyam, kan?

KARENA TAK DIBIASAKAN

Masalah anak tak bisa bangun pagi, terang Rahmitha P. Soendjojo, tak bisa dilepaskan dari ritme tidurnya. “Kita harus lihat kebiasaan sebelumnya, jam berapa ia tidur malam dan bagaimana pula tidur siangnya? Apakah tidurnya larut, apakah kegiatan siangnya terlalu capai sehingga anak jadi susah tidur dan susah bangunnya?” Soalnya, masalah bangun pagi hanyalah masalah kebiasaan. Jadi, anak sebenarnya bisa bangun pagi asalkan dibiasakan. Dengan begitu, ritme tubuhnya juga akan selalu mengatur seperti itu. Jangan lupa, anak sedang dalam proses belajar. “Ia tak punya keterampilan dan pengalaman untuk bangun pagi. Jadi, kalau ia tak diajarkan untuk kapan bangun pagi, kapan tidur malam, dan kapan tidur siang, maka ia tak akan punya keterampilan untuk menata kesehariannya,” lanjut Mitha, panggilan akrab psikolog pada DIA-YKAI, Jakarta, ini.

Dalam bahasa lain, bisa-tidaknya anak bangun pagi tergantung dari kebiasaan yang ditanamkan secara konsisten oleh orang tua, bukan karena kebutuhan tidurnya memang demikian. Kebutuhan tidur akan berkurang sejalan bertambahnya usia. Di usia bayi, misalnya, anak bisa tidur 5 hingga 6 kali sehari. Bayi hanya terbangun bila ia merasa lapar. Tapi di usia batita, anak biasanya tidur siang hanya sekali. Semakin besar dan beranjak remaja, ia hanya tidur malam. Lama tidur malam pun akan semakin berkurang. Anak prasekolah biasanya butuh 12 jam tidur dalam sehari. “Tapi tentu setiap anak punya kekhasannya sendiri,” ujar Mitha.

Artinya, walaupun sama-sama prasekolah, namun kebutuhan tidur masing-masing anak akan berbeda-beda. Ada anak yang cukup tidur dengan 10 jam, ada pula yang baru cukup jika tidurnya mencapai 14 jam. Begitu pula kebiasaan tidur siang. Ada yang hanya tidur siang sebentar saja, namun efeknya bisa membuat si anak sampai jam 11 malam masih melek . Sebaliknya, ada anak yang sepanjang sore sudah tidur, jam 7 malam pun sudah tidur lagi. Nah, pada anak yang bangunnya siang, menurut Mitha, biasanya mempunyai jam tidur siang yang lambat pula. Akibatnya, tidur malamnya pun jadi larut.

TIDUR MALAM DIPERDINI

Bila anak tak bisa bangun pagi lantaran tidur siangnya lambat sehingga tidur malamnya jadi larut, berarti kita harus reschedule lagi. Saran Mitha, bangunkan ia lebih dini dari biasanya saat tidur siang. “Tentu dilakukannya secara bertahap. Misalnya, 15 menit lebih dini setiap hari, hingga ia bisa mencapai waktu yang tepat.” Seiring dengan itu, jadwal tidur malam dan bangun paginya juga harus diperdini. Misalnya, jam 8 malam sudah harus di tempat tidur. Pokoknya, pada jam 8 malam, anak sudah dipakaikan baju tidurnya, cuci kaki dan gosok gigi, sudah minum susu hangat, lalu bacakan buku cerita. Jika saat pertama ia tak bisa tidur dan tetap ingin bermain, tak jadi masalah.

Yang penting, ia harus selalu dibuatkan jam tubuhnya bahwa jam 8 adalah waktu tidur. Lama-lama ritme tubuhnya pun akan terbentuk, pada jam 8 ia pasti tidur dan ia akan bangun jam 6 pagi. Bahkan untuk keluarga muslim akan bangun lebih pagi lagi demi membiasakannya salat subuh. Tentu saja, kala pertama kali jadwal tersebut diterapkan, akan mengalami berbagai kendala; dari anak jadi mudah rewel hingga mengamuk.

Tak apa-apa. Toh, kalau tubuhnya sudah bisa menyesuaikan diri dengan jadwal barunya, maka kendala ini pun tak akan terjadi lagi. Tubuh anak juga tak akan menderita sesuatu kalau kita hanya sekadar mengubah jam tidur tanpa mengurangi jumlahnya. Sejauh tubuhnya dapat berfungsi baik dengan jumlah tidur yang dimilikinya, berarti jumlah tidurnya cukup. Jadi, tak usah khawatir untuk mengubah jadwal tidurnya. Tapi mengubahnya dilakukan jauh-jauh hari sebelum anak masuk “sekolah”, ya; minimal 2 minggu sebelumnya. Dengan begitu, kala tiba saat masuk “sekolah”, ia pun sudah bisa bangun pagi. Jadi, tak ada lagi “perang” di pagi hari antara orang tua dan anak.

ORANG TUA BANGUN LEBIH PAGI

Tentunya kita perlu bangun lebih pagi dari anak. Kalau kita dan anak sama-sama bangun jam 6, misalnya, maka yang terjadi adalah kehebohan karena semuanya akan tergopoh-gopoh. Terlebih lagi bila kita juga sibuk menyiapkan diri sendiri untuk berangkat ke kantor. Bisa-bisa semuanya malah jadi berantakan. Itulah mengapa kita perlu bangun lebih awal dari anak agar kita bisa punya waktu untuk keperluan kita dan anggota keluarga lainnya lebih dulu. Setelah semua urusan tersebut beres, barulah kita bangunkan si kecil. Dengan begitu, kita jadi bisa lebih tenang dan sabar dalam menghadapi si kecil yang malas-malasan bangun.

“Anak yang dihadapi dengan kalem akan lebih cepat menurut ketimbang jika dihadapi dengan heboh, biasanya akan semakin mengambek,” kata Mitha. Kemudian, pada saat membangunkannya lakukanlah dengan cara-cara yang membuat anak senang. Misalnya, dengan memeluk, mencium, membunyikan weker yang bunyinya disenangi anak, membawakan susu buatnya, membuka jendela kamarnya sehingga sinar matahari masuk, atau menggendongnya hingga ke depan kamar mandi. Bukan malah dengan omelan dan ancaman segala macam, “Nanti Mama siram pakai air, ya, kalau kamu enggak mau bangun juga!”

Wah, ini, kan, bukan pernyataan manis yang ingin didengar anak untuk mengawali hari-harinya. Setelah anak bisa bangun pagi, berilah rewards. Entah dengan membaca cerita sama-sama atau jalan-jalan di hari Sabtu. Pokoknya, kegiatan yang menyenangkan dan ada kaitannya antara orang tua-anak. Dengan demikian, anak pun terdorong untuk bangun pagi terus. Karena anak, terang Mitha, pada dasarnya selalu ingin menyenangkan orang tua. “Kalau ia berbuat baik dan orang tuanya menunjukkan rasa puas serta senang, maka anak akan mengulangi perbuatan itu. Ia akan sibuk cari sesuatu yang bagus, yang bisa bikin senang ayah-ibunya. Tapi kalau yang ia lakukan itu dianggap salah melulu, maka ia pun akan bingung, bagaimana cara yang bagus buat menyenangkan orang tuanya.”

BELUM TERLAMBAT

Apabila kita lupa melatih si kecil bangun pagi sebelum tiba saat masuk “sekolah”, tak ada kata terlambat, kok. Pada akhirnya si kecil akan bisa bangun pagi asalkan dilatih secara konsisten. Disamping mengubah jadwal tidurnya, saran Mitha, sebaiknya anak sudah disiapkan pada malamnya, dengan menerangkan pada anak apa yang akan terjadi esok hari dan apa saja yang harus ia lakukan. Misalnya, “Mbak, seragamnya warna apa untuk ‘sekolah’ besok? Mau pakai kaos kaki yang mana? Mau pakai sepatu yang mana? Buku apa yang akan dibawa? Mau bawa tempat minum atau tempat kue yang mana? Kamu nanti bawa bekal apa? Mau bawa lemper, kue sus, atau roti?” Dengan begitu, anak akan tergugah untuk punya responsibility, “Oh, iya, besok aku harus ‘sekolah’.”

Tentunya semua perlengkapan tersebut langsung disiapkan dan diletakkan di tempat yang mudah terlihat anak, kecuali kue-kue tentunya. Selain itu, urai Mitha, “untuk anak usia 3-4 tahun, kita harus mengingatkan perihal acara besok ini secara berulang-ulang karena daya ingat anak usia ini masih minim sekali.” Lagi pula, dengan terus-menerus diingatkan, hal ini bisa menjadi suatu rutinitas buatnya. “Jadi, setiap malam kalau ia mau tidur itu punya ritual; dari sikat gigi, memakai baju tidur, dan menyiapkan baju serta perlengkapan ‘sekolah’nya. Dengan begitu, anak jadi punya persiapan juga, ‘Oh, besok aku akan ‘sekolah’, aku harus bangun pagi,’” lanjut Mitha. Jikapun kita sempat melakukan “ritual” tersebut karena masih di kantor, misalnya, maka tugas ini bisa kita delegasikan kepada pengasuh anak. Ternyata, enggak sulit-sulit amat, kan, Bu-Pak, untuk membiasakan si kecil bangun pagi?

CARI PERHATIAN

Bapak-Ibu, waspadalah bila kebiasaan anak sudah bangun pagi berlangsung terus-menerus. Selain karena ia memang tak terampil, belum punya pengalaman bahwa kalau bangun tidur itu harus ngapain -misalnya, harus langsung masuk kamar mandi-, menurut Rahmitha, bisa juga disebabkan anak mencari perhatian orang tua. Untuk itu, kita harus cermat melihat pada diri anak. “Kalau kita lihat si anak memang mengantuk sekali, berarti tidurnya kurang. Bila demikian, kita harus lihat jadwal tidur malamnya, apakah terlalu larut? Kenapa ia bisa tidur hingga larut? Apakah karena menunggu bapak-ibunya pulang ataukah terlalu asyik menonton TV, misalnya? Berarti ada schedule yang tak benar dan harus diperbaiki.” Tapi kalau tidur malamnya memang sudah cukup dan ia tetap saja mengantuk, lihat lagi, apakah ia cukup sehat atau tidak? “Kalau semua itu oke, berarti memang ia cari perhatian. Bisa saja ia berpikiran, ‘Kalau aku tidur cepat-cepat, nanti aku enggak ketemu Mama-Papa lagi. Ya, sudah, bikin alasan macam-macam.’ Padahal maksudnya memang ingin dipeluk ibunya, didekati ibunya, dan sebagainya,” lanjut Mitha. Jadi, kita harus tanggap akan hal ini.

JANGAN BIARKAN SI KECIL MENUNGGU

Sering terjadi, anak tidur malam terlalu larut gara-gara menunggu kita pulang dari kantor. Mayoritas orang tua di Jakarta, kan, tiba di rumah kira-kira jam 9 malam. Kalau mereka pulang dan anaknya sudah tidur, mereka merasa enggak ketemu dengan anaknya. Sebaliknya, anak juga merasa tak ketemu orang tuanya. “Ini memang sebuah dilema,” aku Rahmitha . Namun sebaiknya anak tak dibiarkan tidur larut karena menunggu orang tua pulang kantor. Toh, esok paginya orang tua dan anak masih bisa saling ketemu. Apalagi kalau anak sudah biasa bangun pagi, “maka pagi hari akan sangat panjang dan bisa dimanfaatkan untuk ketemu dengan orang tua. Orang tua pun bisa menyiapkan segala sesuatunya bersama anak.”

AWAS “SEKOLAH” BISA JADI PENYEBAB!

Tak jarang anak sulit dibangunkan karena malas “sekolah”. Bila demikian, kita harus tanggap, apakah ada masalah dengan “sekolah”nya? Misalnya, bekalnya selalu diambil temannya, padahal bekalnya itu adalah makanan kesukaannya. “Hal ini bisa menjadi masalah besar, lo, bagi anak sehingga ia jadi tak betah ‘sekolah’. Karena anak itu, kan, peka sekali dengan segala perubahan. Ia belum punya pengalaman dan cara berpikirnya juga terbatas, sehingga kemampuan adaptasinya belum secepat orang dewasa. Jadi, kalau ada masalah, ia tak tahu teknik mengatasinya,” papar Rahmitha. Banyak hal yang bisa membuat anak malas “sekolah”. Hanya gara-gara duduknya di pojok dan di situ banyak nyamuk atau sepatunya sudah kesempitan tapi ia tak punya kesempatan bilang pada orang tuanya, juga bisa membuatnya malas “sekolah”. Itulah mengapa, kita harus tanggap terhadap perubahan anak. “Ajak ia bicara. Dari situ akan ketahuan apa penyebabnya malas bangun pagi,” lanjut Mitha. Kita juga harus jalin kerja sama dengan ‘sekolah’, sehingga kalau ada masalah bisa cepat ketahuan. Dengan demikian kita tahu betul bagaimana keadaan anak kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar