Sabtu, 08 Januari 2011

Creative Value Through Innovation

kategori : pendidikan
oleh : oleh Jansen H Sinamo.
tahun : 2005

Berinovasi atau mati! Itulah semboyan baru yang perlu kita
kumandangkan di zaman penuh perubahan ini. Apa itu inovasi? Mengapa
tanpa inovasi sebuah eksistensi bisa mati? Saya merumuskan inovasi
sebagai proses penciptaan dan pembaruan nilai sampai dapat dikonsumsi
oleh masyarakat pelanggan. Nilai adalah kata kuncinya. Siapa pun
Anda, apa pun organisasi Anda, kita semua dituntut oleh pelanggan
atau konstituen kita untuk menyajikan seperangkat nilai yang berguna,
yang atasnya kemudian kita layak mendapat nilai tukar yang sepadan
dari mereka.

Nah, inovasilah proses yang membawa nilai pelanggan ini dari belum
ada menjadi ada. Contoh, air mineral Aqua adalah produk inovasi Tirto
Utomo kepada masyarakat Indonesia. Oleh proses yang sama pula sebuah
nilai yang sudah ada (existing value) dapat diperbarui dan
ditingkatkan menjadi lebih tinggi dan berkualitas. Misalnya,
Alexander Graham Bell menyumbangkan nilai komunikasi bagi dunia
melalui alat yang disebut telepon. Kemudian melalui sejumlah inovasi
di berbagai tempat oleh berbagai orang pada berbagai fase, kini kita
dapat memiliki telepon genggam multifungsi dan multiguna yang jauh
lebih bernilai daripada telepon asli buatan Tuan Bell dulu. Itulah
esensi inovasi.

Berhubung kehidupan adalah sebuah ajang persaingan, dalam hal ini
semua orang dan organisasi selalu bersaing untuk mendapatkan
kesetiaan masyarakat konsumennya, maka inovasi menjadi keharusan
untuk tetap eksis dalam percaturan kehidupan. Tanpa inovasi, nilai
yang kita sajikan kepada masyarakat akan ketinggalan dan usang,
sehingga kehilangan nilai tukarnya sama sekali relatif terhadap
sajian nilai dari pesaing. Tanpa inovasi, kita akan melemah pelan- pelan dan akhirnya bangkrut, tersisih, dan punah dari kehidupan
bermasyarakat. Ini benar untuk tingkat lokal, benar pula untuk
tingkat global. Ini benar untuk perusahaan, benar pula untuk jenis
organisasi lain seperti yayasan, paguyuban, bahkan negara.

Runtuhnya negara-negara dan punahnya bangsa-bangsa masa lampau
seperti Babylonia, Assria, Makedonia, Romawi, Sriwijaya, Majapahit,
Uni Soviet dan lain-lain, pada tingkat paling fundamental dapat
dipahami sebagai akibat hilangnya nilai atas eksistensi mereka.
Tepatnya organisasi bangsa itu tidak dapat lagi menyajikan nilai yang
bermanfaat bagi ekosistem dan konstituennya. Dari faktor benefit
mereka berubah menjadi faktor parasit.

Bangkrutnya perusahaan-perusahaan juga dapat dipahami sebagai akibat
tidak mampunya mereka menyajikan nilai yang menarik bagi ekosistem
dan konstituennya, relatif terhadap pesaing-pesaing baru yang dibawa
oleh arus perubahan. Bahkan punahnya mahluk hidup seperti mammoth dan
dinosaurus juga dapat dimengerti karena mereka tak mampu lagi
memberikan nilai positif bagi lingkungan hidup mereka.

Demikian juga pada tingkat individual, seseorang akan lengser dari
kedudukan dan status sosialnya, manakala yang bersangkutan tidak
mampu lagi menyajikan seperangkat nilai posisitif bagi konstituennya.
Maka inilah nasihat sejati: Selalulah menjadi faktor berkat dan
jangan pernah menjadi faktor mudarat.

Sesungguhnya keadaan di atas adalah hukum besi kehidupan yang dikenal
sebagai prinsip evolusi. Intinya, makhluk hidup termasuk organisasi
semua makhluk, wajib menyumbangkan nilai positif bagi ekosistem
kehidupan ini, sehingga sinergi bersama dapat tercipta secara
organik, dimana kelangsungan hidup bersama dapat dijamin pula.
Sebaliknya, tatkala seseorang atau sebuah organisasi - sebesar dan
sekuat apa pun - tak mampu lagi menyajikan sebuah nilai positif bagi
kehidupan bersama, maka ia kehilangan hak alamiahnya untuk eksis.
Ekosistemnya, konstituennya, pelanggannya, stakeholdernya akan
menyisihkan dan meninggalkan dia.

Jadi hanya ada satu pilihan: berinovasi dan bertransformasi menjadi
wujud baru dengan sajian nilai baru bagi kehidupan ini. Pilihan lain:
mati dan punah dari gelangggang kehidupan.

Creating Value Through Innovation dengan demikian menjadi salah satu
kompetensi terpenting yang harus dikuasai secara baik oleh individu
maupun organisasi. Dan kompetensi ini kian hari kian penting saja.
Lihatlah para investor yang melakukan capital outflow setahun
belakangan ini karena mereka merasa tidak mendapat nilai yang sepadan
dari Ibu Pertiwi yang sedang linglung. Lihatlah ribuan perusahaan di
nusantara tercinta, mati bergelimpangan dengan jutaan korban karena
mereka tak mampu berinovasi cukup cepat dan gesit.

Dari sudut pandang ini, sebetulnya perubahan dan krisis merupakan hal
yang ditunggu-tunggu oleh para inovator. Sebab cara terbaik untuk
maju ke depan, menyalip mereka yang sudah keenakan di depan sampai
lupa diri, adalah dengan membiarkan gelombang perubahan itu menyapu
mereka habis, lalu menggunakan kayuh inovasi kita mengungkit pucuk
biduk kita sehingga sendirinya terangkat oleh lidah gelombang yang
sama. Cantik bukan?

Jadi, bagi inovator yang waspada, krisis adalah kesempatan. Namun,
bagi si kuat yang berpuas diri lagi arogan, krisis adalah kebinasaan.
Berbeda dari segi hikmat Ilahi, krisis adalah transaksi keadilan. Ya,
sesungguhnya Dia adil dalam semua jalan-Nya. Kiranya kita yang
bertelinga segera maklum, dan yang punya tangan segera bertindak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar