Kategori Individual
Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
Jakarta, 12 Januari 2009
Interaksi sosial seperti pertemanan, atau lebih lekat lagi-persahabatan, memiliki seribu satu alasan yang melatari. Adanya persamaan dalam nilai dan minat menjadi dua perekat yang banyak diamini selama ini (Back, Schmukle, & Egloff, 2008). Mungkin Anda dan dia bertemu dalam satu kampus, bekerja di perusahaan yang sama, atau memiliki hobi sama. Memiliki sahabat berarti berbagi banyak kisah dalam kehidupan Anda, termasuk saling ’berkonsultasi’ atas masalah yang dialami. Tanpa disadari, kemungkinan besar Anda telah menerapkan prinsip empati. Buktinya Anda berhasil menjalin persahabatan bertahun-tahun dengan satu, dua, tiga orang bahkan lebih. Apakah ini artinya Anda telah tumbuh menjadi orang yang tidak egosentris? Penelitian dalam psikologi memberikan kejutan; orang dewasa sering menjadi egosentris lebih dari yang mereka sendiri ketahui.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Perspektif Diri dan Egosentris
Egosentris merupakan satu fase perkembangan pada usia anak-anak. Saat di mana dunia berpusat pada diri sendiri, masa ini biasanya akan terlihat dalam beberapa ungkapan khas anak kecil seperti; mainanku, mamaku, kueku,...... Penegasan ku di akhir kata menunjukkan kepemilikan sekaligus perspektif dunia sekitar kala itu. Pada tahap ini, anak belum bisa memisahkan adanya pengalaman berbeda yang dialami orang lain (anak lain), sejalan dengan belum berkembangnya kemampuan berpikir abstrak.
Perspektif diri merupakan satu formula yang juga tidak absen ketika kita menjalin interaksi dengan orang lain. Kita memandang orang lain sama dengan diri sendiri pada berbagai dimensi dan berasumsi bahwa they act as we act, know what we know, and feel what we feel. Pola ini terbentuk atas mekanisme representasi bersama antara diri dan orang lain yang secara langsung digerakkan oleh rantai otomatik antara persepsi dan tindakan (Jackson & Decety, 2004 dalam Malle & Hodges (ed), 2005)
Kemampuan untuk mampu melihat perspektif orang lain secara psikologis adalah elemen krusial dalam perkembangan orang dewasa menurut teori mind. Kemampuan ini berkembang secara gradual dari kanak-kanak ke masa dewasa. Sayangnya, meskipun orang dewasa telah mampu mengenali perbedaan antara perspektif pribadi dan orang lain, tidak berarti secara otomatis dan spontan mereka menggunakan kemampuan ini ketika menilai orang lain (Barr & Keysar, dalam Malle & Hodges (ed), 2005).
Eksperimen dalam psikologi menunjukkan bahwa orang dewasa seringkali kurang mampu membuat perbedaan yang tegas antara apa yang mereka tahu atau yakini, dan apa yang mereka asumsikan atas tindakan orang lain. Eksperimen Keysar, Lin, dan Barr (2003) juga menunjukkan bahwa orang dewasa cenderung menyimpulkan orang lain memiliki pengetahuan dan keyakinan sama seperti mereka, bahkan ketika mereka juga memiliki pemahaman bahwa orang lain memiliki sudut pandang sendiri.
Prediksi Individu Menjadi Prediksi Sosial
Eksperimen dari Von Boven & Loewenstein di tahun 2003 (Boven & Loewenstein dalam Malle & Hodges (ed), 2005) menunjukkan bagaimana prediksi diri menjadi dasar untuk prediksi lingkungan sosialnya.
Dalam eksperimen tersebut, partisipan membaca skenario yang menceritakan bagaimana empat pendaki berjuang selama 12 hari di alam liar Alaska, tanpa makanan selama empat hari, bergerak menuju area penduduk terdekat, harus menyeberangi glasier raksasa, sungai deras dan onak-belukar hutan lebat. Peneliti kemudian memberikan waktu sekian menit untuk memikirkan perasaan pendaki di Alaska itu. Selanjutnya partisipan diminta untuk mendeskripsikan dengan kalimat mereka sendiri tentang 'proses dan strategi yang digunakan untuk menggambarkan apa yang pendaki pikirkan dan rasakan’'
Lebih dari 69% menuliskan bagaimana reaksi mereka sendiri jika berada pada situasi pendaki ("I would be really scared and hungry ...") sebelum menuliskan tentang reaksi pendaki dalam skenario ("....so I bet the hikers were really scared and hungry"). Dengan kata lain, pertanyaan 'How would the hikers feel?' akan mendapatkan jawaban "If I were the hikers, I would feel ..."
Bukankah kita juga sering kurang lebih berkata sama ketika orang lain atau sahabat kita bertanya "Menurut kamu, saya seharusnya bagaimana?" Alih-alih menempatkan diri kita pada posisi dia, kita memang berpindah tempat namun tetap membawa (diri) perspektif pribadi dalam posisi itu. Yang terjadi, adalah pikiran dan perasaan saya pada situasi dia, yang berarti tidak mengakomodir pikiran dan perasaan (elemen kehidupan) dia sebagai pelaku di kondisi tersebut.
Pikiran dan perasaan saya tentu berbeda, karena saya memiliki sejarah kehidupan berbeda dengan dia (orang lain), yang ironinya juga disadari. Kurang lebih inilah yang membuktikan bahwa tidak jarang orang dewasa ternyata masih memusatkan dunia sosial pada diri sendiri.
Empati
Empati menuntut seorang individu untuk mengadopsi sudut pandang orang lain secara sadar atau tidak, salah satu contoh jelasnya adalah ketika seorang psikoterapis berusaha untuk mengadopsi dunia mental kliennya (Decety, 2005).
Kemampuan untuk menerapkan perspektif orang lain adalah kekuatan utama empati (Batson, 1991, dalam Decety, 2005). Sebuah eksperimen yang dilakukan oleh psikolog sosial Ezra Stotland tahun 1969 menggambarkan proses tersebut. Dalam eksperimennya, partisipan melihat seseorang dengan tangan yang terjebak dalam mesin bersuhu tinggi. Kelompok pertama diminta untuk memperhatikan target secara cermat. Kelompok ke dua diminta untuk membayangkan perasaan target dan kelompok ke tiga diminta untuk membayangkan mereka ada dalam situasi yang sama. Reaksi yang dihasilkan adalah partisipan secara fisik (seperti telapak tangan berkeringat) dan verbal menunjukkan tingkat empati yang lebih tinggi pada partisipan yang membayangkan kondisi target daripada sekedar melihat. Aspek penting yang ditunjukkan dalam eksperimen ini ialah usaha atau kondisi empati tidak berkompromi atas perbedaan antara diri (yang berempati) dan orang lain (yang mengalami kejadian sebenarnya) (e.g., Batson, Early, & Salvarani, 1997, dalam Decety, 2005).
Studi ini selaras dengan pandangan Carl Roger tentang empati dalam client-centered therapy, menurutnya ; "Empathy means to perceive the internal frame of reference of another person with accuracy and with the emotional components and meanings that pertain there to as if one were the person, but without losing the as-if condition (Rogers, 1959)".
Catatan di akhir kalimat Roger '....but without losing the as-if condition', mencegah proses empati menjadi simpati. Sebab simpati membuat larut, sehingga tidak bisa melihat secara obyektif permasalahan orang lain, hal ini tidak diinginkan dalam proses konseling. Ketika Anda menyatakan 'saya turut sedih dengan apa yang kamu alami' maka Anda sedang memberikan simpati, bukan empati. Titik ini pula yang membuat empati sangat berbeda dengan simpati sekaligus membuatnya kompleks.
Empathty as a Complex Social Behavior
Menempatkan perspektif orang lain ke dalam perspektif pribadi menjadi syarat penting dalam empati. Poin ini melengkapi syarat lain yakni emotional sharing dan self awareness. Proses esensial ini berguna untuk mengadaptasi dan megatur perspektif pribadi yang secara otomatis akan terpicu keluar dalam interaksi sosial. Dalam empati terdapat tahapan yang membentuk tiga lapisan tipis yakni; mengesampingkan perspektif pribadi; membayangkan kondisi psikologis orang lain; dan menyimpulkan konten yang paling menggambarkan kondisi psikologis tersebut (Leslie, 1987, dalam Decety, 2005)
Tidak melupakan bahwa Anda berada dalam kondisi as if ('bayangan') lah yang akan membuat Anda mampu memproses tiga lapisan di atas. Kondisi ini pula yang memungkinkan Anda untuk bisa 'membantu' orang lain, karena si pelaku biasanya 'larut'. Maka jika sahabat Anda merasa dan menyatakan seakan tidak ada jalan keluar, Anda berpeluang untuk melihatnya, setidaknya bisa mengurai kembali struktur permasalahan dan kondisi yang sedang dialami, secara kognitif dan afektif si pelaku. Kalimat empati yang akan terucap dari bibir Anda adalah 'saya bisa mengerti apa yang kamu pikirkan dan bisa merasakan apa yang kamu rasakan' yang selanjutnya membuka kesempatan untuk diskusi lebih sehat. Anda pun berlatih untuk tidak terjebak menjadi egosentris seperti masa kanak dulu.
Sumber: www.ilmupsikologi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar