Kamis, 20 Mei 2010

Autisme Pada Anak

Ibu Ani adalah seorang wanita karier yang setiap hari sibuk bekerja, namun selalu menyempatkan diri untuk memeriksakan kesehatan anak tunggalnya yang kini berumur 3 tahun, lebih-lebih bila sakit. Dokter selalu berkata, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pertumbuhan anak tersebut terbilang baik dan tampaknya selalu asyik bermain sendiri, hanya bicaranya belum lancar. Hal tersebut merupakan hal yang biasa pada anak dan nantinya akan bisa dengan sendirinya. Akhir-akhir ini si ibu merasa khawatir anaknya menderita autisme seperti yang ia dengar pada Seminar Autisme. Kekhawatiran ini makin bertambah setelah ia membaca surat kabat bahwa imunisasi MMR dapat menyebabkan autisme. Anaknya pernah mendapatkan imunisasi MMR sewaktu berumur 15 bulan. Kekhawatiran yang dialami ibu Ani tersebut, saat ini banyak pula terjadi pada orang tua lainnya. Autisme pada anak adalah kondisi yang menimpa anak pada saat lahir atau pada umur di bawah tiga tahun. Penyakit ini menyebabkan mereka tidak mampu membentuk hubungan sosial atau mengembangkan komunikasi yang normal. Akibatnya, anak menjadi terisolasi dari kontak manusia dan tenggelam dalam dunianya sendiri yang diekspresikan dalam minat dan perilaku yang terpaku dan berulang-ulang. Di Amerika Serikat, antara 60.000-115.000 anak berumur kurang dari 15 tahun menderita autisme, sehingga diperkirakan terdapat 10 sampai 20 kasus per 10.000 penduduk. Rata-rata kasus ditemukan sewaktu anak berumur 6 tahun. Sebagian besar orang tua menganggap ada yang tidak beres pada diri anaknya sewaktu anak tersebut berumur 18 bulan. Jumlah penderita anak laki-laki lebih banyak 3-4 kali jumlah penderita anak perempuan, tetapi anak perempuan autisme cenderung lebih berat. Autisme pada anak bisa terjadi di semua tingkat sosial-ekonomi dan di setiap ras, serta pada semua taraf intelegensi. Kapan kita mencurigai seorang anak menderita Autisme? Anak yang menderita autisme gagal menunjukkan keakraban yang lazim terhadap orang tua maupun orang lain. Sewaktu bayi, ia tidak memiliki senyum sosial. Artinya, bayi tidak pernah tersenyum sewaktu diajak bermain, tidak mempunyai perilaku melekat (yaitu perasaan lebih senang apabila berada dekat ibunya). Anak sering tidak dapat membedakan orang yang paling penting dalam kehidupannya, seperti orang tua, kakak, saudara, dll. Apabila ditinggal pergi oleh orang tuanya tidak menunjukkan rasa cemas, sejak bayi ngocehnya kurang, perkembangan kemampuan berbahasa umumnya mengalami hambatan. Setelah bertambah umur, bahasa yang digunakannya sulit dimengerti oleh orang tua, seringkali melakukan aktifitas yang brulang-ulang, misalnya menggerak-gerakkan anggota tubuhnya tanpa tujuan, bahkan bisa juga membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Penderita autisme akan lebih jelas terlihat saat berkumpul dengan anak sebaya. Saat bermain, si penderita tidak bisa berinteraksi atau bermain bersama, apalagi dengan alat permainan yang sama. Ketidakstabilan perasaan, perubahan emosi yang tiba-tiba seperti ledakkan tertawa atau menangis tanpa sebab yang jelas, adalah juga gejala-gejala autisme. Secara garis besar, terdapat tiga ciri utama yang muncul sebelum umur tiga tahun. Interaksi sosial dan perkembangan sosial yang abnormal Tidak terjadinya perkembangan komunikasi yang normal Minat serta perilakunya terbatas dan berulang-ulang Mengapa anak menderita autisme? Penyebab autisme masih belum diketahui secara pasti. Dahulu, diperkirakan bahwa faktor psikologis yang memegang peranan penting dalam timbulnya autisme. Namun, penelitian dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa autisme mempunyai penyebab neurobiologis yang sangat kompleks. Faktor biokimia, metabolisme, imunologi, toksikologi, pencernaan, dan nutrisi, adalah faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya autisme. Dengan demikian, cara pengobatannya pun saat ini sudah lebih banyak berubah. Apakah ada hubungan antara vaksinasi MMR dengan autisme? Kekhawatiran ini bermula dari suatu penelitian yang dilakukan di Inggris, di mana didapat gejala autisme tidak lama setelah anak tersebut mendapat imunisasi MMR. Pendapat ini dibantah oleh berbagai pihak, termasuk oleh Departemen Kesehatan RI. Bantahan ini dikeluarkan karena terbukti bahwa tidak ada peningkatan angka autisme setelah diperkenalkannya vaksin MMR pada tahun 1988. Penutup Orang tua diharapkan berperan aktif dalam memantau tumbuh-kembang anak sejak usia dini. Apabila menemukan gejala autisme, segeralah konsultasikan dengan dokter untuk mendapat kepastian diagnosis. Biasanya, untuk menentukan diagnosis tersebut memerlukan penanganan yang dilakukan oleh suatu tim yang terdiri dari pakar berbagai disiplin ilmu.

Kasus perlunya anak diberikan terpi wicara

Semenjak masih dalam kandungan Raihan memang sudah memerlukan special treatment. Ketika baru awal-awal kehamilan, istri saya bercanda dengan berujar, Raihan nanti lahirnya di ibu bidan saja ya, bukan di Hermina.

Tampak seperti protes, usia kandungan 3 bulan, istri saya mesti dirawat karena hypermesis. Berat badannya susut hingga 13 kg. Saking kempesnya perut, janin yang baru berusia tiga bulan sudah tampak menononjol. Istri saya sudah pasrah ketika mendapatkan informasi dari dokter kalau detak jantung si Janin cukup lemah.

Namun ternyata Raihan sangat kuat. Setelah dirawat hampir 10 hari, istri saya bisa pulang, tetapi hypermesis tidak pernah berhenti, hanya memang tidak terlalu parah. Dalam satu minggu bisa makan paling 2-3 kali.



Usia 8 bulan, ketuban istri saya sempat bocor dan mesti dirawat lagi, untuk menahannya supaya bayi cukup kuat dulu sebelum lahir. Seminggu lebih dirawat, dan ketika sudah membutuhkan waktu 24 jam untuk bisa keluar dari kandung. Fadhel hanya membutuhkan waktu 3 jam, untuk lahir. Masuk RS jam 11 malam, jam 2 pagi sudah lahir. Dan setelah lahirpun Raihan mesti dirawat di khusus selama seminggu. Biayanya, total semua 3 kali lipat dengan biaya kelahiran Fadhel.

Sebenarnya sejak awal, Fadhel paling dekat dengan saya. Kata pertama yang dia ucapkan bukannya ibu tetapi ayah. Tetapi ketika adiknya lahir, semuanya berubah. Segala hal harus dikerjakan bersama ibunya (sampai sekarang).

Pengalaman dengan gangguan perkembangan Fadhel membuat kami ekstra hati-hati. Sejak hamil kami sudah jaga segala hal yang memicu autisme, seperti makanan laut yang banyak tercemar oleh mercury. Imunisasi yang diberikan kepada Raihanpun selalu terbebas dari Mercury, dan tentu saja harganya bisa 5 kali lipat imunisasi biasa.

Secara kasat mata pada awalnya saya tidak terlalu khawatir dengan perkembangan Raihan. Kontak matanya sangat bagus. Kalau Fadhel ketika menyusu tidak pernah memandang mata ibunya, Raihan terus menerus menatap mata ibunya. Itu sebabnya kita setahun lebih belum bisa bicara, saya anggap hanya keterlambatan biasa.

Usia 18 bulan, kami sempat konsultasikan dengan dokter. Dari hasil pemeriksaan semuanya normal. Kami diminta menunggu hingga usia dua tahun. Kalau belum ngomong juga nanti baru perlu terapi.

Pada usia 18 bulan sebenarnya memang sudah keluar beberapa kata seperti Yayah untk memanggil saya, Atau Bu ketika mencari ibunya. Emu untuk minum. Mau, naik dan beberapa kata sederhana lainnya. Tetapi makin hari, bukannya makin bertambah kata-katanya malahan makin malas ngomong.

Usia dua tahun kami bawa lagi ke dokter. Disarankan untuk pergi ke THT komunitas terlebih dahulu untuk memastikan apakah ada gangguan pendengaran atau tidak.
Di THT komunitas Raihan sempat disangka tuli. Pada waktu itu dilakukan test audio. Raihan duduk di tengah-tengah speaker dan diberi mainan. Lalu diberi suara dengan tingkat decible yang makin kuat. Raihan selalu asyik dengan mainannya. Dia baru bereaksi ketika suara sudah pada level 80 Decible. Luar biasa.

Tetapi ketika di verifikasi dengan test bera, ternyata pendengarannya normal saja. Kesimpulan sementara SUPER CUEK.

Menurut dokter Luh, dokter rehab medik Raihan dan Fadhel, Raihan hanya mengalami keterlambatan. Kemungkinan besar adalah ketika masa kehamilan terjadi hypermesis, banyak nutrisi yang dibutuhkan menjadi kurang asupan. Raihan mesti terapi wicara.

Dibanding Fadhel, Raihan memang jauh lebih super aktif. Tubuhnya selalu bergerak. Tetapi menurut dokter Raihan juga tidak hyperaktif. Dia masih bisa konsentrasi untuk suatu hal yang dia sukai, terutama menggambar. Diluar aktifitas menggambar Raihan bergerak terus seperti cacing. Saya teringat usia 3 bulan, karena kelincahan tanggannya sempat menyobek kornea mata saya. Lengan dan pipi ibunya habis dikruesin oleh jari Raihan yang tidak bisa diam.
Kalau mau tidur, tidak ada satu sudut tempat tidur yang dia lewati. Berguling kesana kemari. Yang sangat melelahkan adalah kalau naik bus umum. Pengalaman perjalanan dari Ancol menuju Sudirman benar-benar menguras energi. Dia selalu jalan ke depan dan ke belakang, padahal bus dalam keadaan jalan.

Sekarang Raihan sudah banyak kemajuan. Imitasi suara sudah dia kuasi. Kata-kata sudah dua suku kata. Hanya memang untuk anak usia 2.5 tahun kemampuan bicaranya masih setara dengan anak usia 1 tahun. Harapan saya cuma mudah-mudahan Raihan di sekolah tidak perlu guru pendamping seperti Fadhel.

Sumber: http://laresolo.multiply.com/journal/item/43/Raihan_juga_harus_terapi_wicara

Selasa, 18 Mei 2010

Anak Hiperaktif dan Ada Autis (ringan)

Assalamu'alaikum,

Saya punya anak usia 8 tahun 7 bulan, laki-laki, abk dengan hiperaktif dan autis. Dari kecil (4 tahun) kami sudah melakukan terapi-terapi, Alhamdulillah, ada perubahan-perubahan. Cuma sampai sekarang sifat hiperaktifnya masih ada, dan kadang kita menipis kesabarannya. Saya memasukkan sekolah di SDN inklusi bogor, kelas 2.

Pertanyaan saya;

  1. Apakah anak abk tersebut bisa mencapai taraf prestasi sama dengan anak normal?
  2. Bagaimana cara yang dapat saya lakukan/terapi-terapi di rumah?
  3. Adakah obat-obatan (herbal) tertentu yang dapat membantu?
  4. Sampai kapankah anak abk tersebut mencapai 'kesembuhan' atau normal?

Syukron jazakillah kasiron

wassalamu'alaikum

ummu maulana

Jawaban

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Ummu Firdaus yang dirahmati Allah,

Memasukkan anak "special needs" ke sekolah yang menerapkan sistem inklusi adalah pilihan tepat. Karena anak-anak special needs ini belajar di kelas yang sama dengan anak-anak pada umumnya, tetapi mereka memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. Baik berkaitan dengan materi, strategi pembelajaran, media yang digunakan maupun evaluasinya.

Sehingga perkembangan tumbuh kembang maupun kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik anak mengalami kemajuan. Anak dengan special needs juga ada yang mempunyai kemampuan IQ (Intelegence Quetion) yang memadai bahkan ada juga yang di atas rata-rata anak pada umumnya.

Sehingga ummi tidak perlu terlalu mengkhawatirkan prestasinya. Jikapun ternyata IQ ananda masih di bawah rata-rata anak seusianya, sebaiknya ummi membantu ananda dengan memberikan remedial pada pelajaran-pelajaran tertentu. Misalnya : remedial untuk pelajaran berhitung (matematika) untuk membantunya menguasai konsep berhitung, dan lain-lainnya.

Hal yang paling penting yang perlu ummi lakukan adalah memberikan stimulasi atau terapi-terapi yang sesuai dengan kebutuhan ananda. Untuk hal tersebut sebaiknya ummi meminta report dari terapis yang membantunya selama ini. Sehingga ummi akan dapat mengetahui kemajuan yang sudah tercapai maupun kemampuan yang belum tercapai. Setelah itu ummi baru bisa mengevaluasi apa saja yang perlu diberikan untuk ananda.

Adapun mengenai obat-obatan (herbal), saat ini mohon maaf saya belum mendapatkan informasi yang memadai. Namun "akupuntur khusus untuk Autisme" dari informasi yang saya dapatkan sudah teruji cukup berhasil membantu mengurangi hiperaktif dan merangsang pusat bicara. Untuk hal ini, sebaiknya didiskusikan dengan ahlinya.

Di samping itu, untuk membantu mengurangi hiperaktifnya. Sebaiknya ananda mengikuti program "behavior therapy" (terapi perilaku) dalam upaya untuk membantu ananda mematuhi aturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat kita.

Ummu Firdaus yang sabar,

Sebagai manusia kita hanya disuruh untuk berusaha semampu kita. Adapun untuk urusan hasil semuanya adalah hak Allah SWT Yang Maha Rahmaan Rahiim.....

Dan Dia Yang Maha Rahman Tidak akan pernah menyia-nyiakan usaha hamba-Nya yang ikhlas. Insya Allah dengan terapi-terapi yang disesuaikan dengan kebutuhan ananda dan do'a ikhlas ummi. Suatu hari nanti ananda akan keluar dari kesulitan yang dialaminya saat ini. Dan saya turut berdo'a semoga ananda mencapai titik kesembuhan seperti yang ummi dan keluarga harapkan. Aamiin.

Wallahu a'lam bisshawab


oleh :Namih Al Faisal, S.Pd

Tips Sukses Mendidik Anak ADHD di Rumah

Homeschooling mungkin akan menjadi pilihan untuk si kecil berkebutuhan khusus. Terutama bagi anak berkebutuhan khusus yang sulit mengikuti program sekolah umum, atau yang memang membutuhkan belajar secara privat atau disebut juga one-on-one learning. Menurut Janie Bowman dalam bukunya Think Fast! The ADD Experience dan juga praktisi homeschooling, sebenarnya metode ini tidak asing bagi orangtua, karena saat anak berusia balita orangtualah yang menjadi gurunya di rumah. Meskipun demikian, tuntutan pada kemampuan anak semakin besar seiring dengan usia perkembangannya. Oleh sebab itu ada beberapa hal yang perlu Anda perhatikan:

Don't Do "School at Home"
Sebaiknya Anda pikirkan kembali ide membuat metode homeschooling menyerupai kegiatan belajar mengajar di sekolah. Seperti, mengikuti struktur pelajaran, jam belajar, kurikulum dan lingkungan sekolah. Yang paling penting adalah mengoptimalkan keinginan natural anak untuk belajar. Selain itu, lakukan kegiatan belajar dengan santai serta dukung dan kembangkan minat anak.

Buat Prioritas
Setiap kemampuan yang dimiliki anak akan menjadi modal di masa depannya. Namun, Anda perlu fokus dulu pada kemampuan dasar anak seperti membaca, menulis, matematika dan kecintaan belajar atau bereksplorasi. Jangan hanya terpusat pada keinginan anak. Jika Anda kesulitan mengajari anak kemampuan dasar tersebut, Anda bisa mencari bantuan psikolog. Mungkin Anda memerlukan metode yang berbeda.

Tentukan Waktu yang Tepat
Setiap anak berkebutuhan khusus memiliki mood pada waktu tertentu yang mempengaruhi konsentrasinya. Jika sedang frustasi, anak tidak bisa belajar secara optimal sehingga terkadang terlihat anak menolak atau membangkang. Pahami situasi, bukan berarti anak sengaja bertindak kasar, namun mereka hanya takut lupa dengan apa yang dipelajari. Kendati demikian, Anda bisa menyiasatinya dengan memberikan waktu istirahat atau bercanda di sela-sela kegiatan belajar. Buat jadwal kegiatan perminggu atau perbulan. Diskusi dengan anak mengenai waktu belajar yang ideal.

Manfaatkan Hiperfokus Anak
Biasanya anak berkebutuhan khusus seringkali tidak memperhatikan waktu ketika sedang tertarik pada sesuatu (hyperfocus). Jika menurut Anda bermanfaat, biarkan seperti itu namun pastikan anak cukup tidur dan nutrisi. Anda bisa menggunakan kemampuan anak bereksplorasi dengan mengenalkan beragam konsep, misalnya membaca, matematika, kemampuan sosial, sains, geografi dan sebagainya. Misalnya, anak yang didiagnosa sindrom Asperger khususnya laki-laki sangat tertarik dengan komputer. Segera minta bantuan psikolog atau terapis jika kebiasaan ini semakin mengganggu, misalnya anak menjadi lupa waktu dan tidak mau belajar hal lain.

Keunggulan dari homeschooling untuk anak ADHD ialah anak mendapatkan metode pengajaran yang sesuai dengan kepribadiannya. Hal ini dikarenakan orangtualah yang menjadi guru anak, karena meski bagaimanapun orangtualah yang paling tahu kebutuhan si kecil. Perlu diingat meski anak belajar di rumah bukan berarti anak diperlakukan sebagai siswa.


oleh :
Mita Zoelandari

Senin, 17 Mei 2010

Terapi Wicara dan Telat Bicara

Tanya

Ibus yang pintar dan baik, aku mau tanya tentang terapi wicara untuk aak. Apa saja yang dilakukan dalam terapi itu, adakah kurikulumnya ?Anakku (3 th, 1 bulan) bicaranya belum jelas dan dianjurkan untuk mngikuti terapi. Kalau sempat hari ini aku mau bertemu dokter rehabilitasi medik. Tapi aku belum tahu apa yang kira-kira harus aku gali dari dokter itu. Tolong aku ya. Terima kasih. [St]

Jawab

Anakku (19,5 bulan) sudah 1,5 bulan ini mengikuti terapi wicara di Klinik Pela, ditangani oleh 3 orang (dokter anak, psikolog dan dokter rehab). Dari penilaian mereka diputuskan anakku memerlukan terapi yaitu terapi wicara dan terapi okupasi (untuk konsentrasi). Anakku terapi 2 kali dalam seminggu. Menurut pengalamanku, si dokter yang akan banyak bertanya dan menggali informasi dari kita tentang anak kita sambil dia melakukan observasi. Berdasarkan informasi dari kita, dokter bisa lebih cermat melakukan penilaian.

pSumber: Ibu-ibu DI

Jumat, 14 Mei 2010

kebutuhan khusus siswa belajar di sekolah

krishna Murti, Jakarta, Indonesia, pada tanggal 10 Maret 2008. Children with special needs (Heward) is a child with special characteristics that differ from children in general, without always showing on mental disability, emotional or physical. Anak-anak dengan kebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dari anak-anak secara umum, tanpa selalu ditampilkan pada cacat mental, emosional atau fisik. The phenomenon of increasing the number of children with special needs in Indonesia, particularly children with autism spectrum (or autistic spectrum disorder) and children who have other common developmental disorder, which is delayed talking, learning disorders, behavioral disorders (hyperactivity and hipoaktif), down syndrome, cerebral palsy, and so on, causing deep concern of a number of medical professionals, psychologists, parents and students of children. Fenomena peningkatan jumlah anak-anak dengan kebutuhan khusus di Indonesia, terutama anak-anak dengan spektrum autis (atau gangguan spektrum autistik) dan anak-anak yang memiliki gangguan perkembangan lain yang umum, yang tertunda bicara, gangguan belajar, gangguan perilaku (hiperaktif, dan hipoaktif), down sindrom palsy, otak, dan sebagainya, menyebabkan keprihatinan mendalam dari sejumlah profesional medis, psikolog, orang tua dan siswa anak-anak. The main difficulty handling improvement of children with special needs this is about information and the difficulty of diagnosing the sufferer. Kesulitan utama peningkatan penanganan anak-anak dengan kebutuhan khusus ini adalah tentang informasi dan sulitnya mendiagnosis penderita. In order to maximize the handling is better done from a very early age, unfortunately, often just wrong diagnoses led to the children experienced a setback. Dalam rangka memaksimalkan penanganan yang lebih baik dilakukan sejak usia dini, sayangnya, diagnosis sering hanya salah menyebabkan anak-anak mengalami kemunduran. Until now children with special needs who received extensive attention in the community are those who belong to the pervasive Developmental Disorder or Autism Spectrum Disorder (ASD). Sampai sekarang anak-anak dengan kebutuhan khusus yang mendapat perhatian luas di masyarakat adalah mereka yang berasal dari Developmental Disorder meresap atau Autism Spectrum Disorder (ASD).

sumber :demotix.com

Helen Keller Menginspirasi Indonesia




Ketika Helen Keller mengunjungi Indonesia pada tahun 1955, ia bertemu dengan kepala negara, Sukarno, untuk membahas kepentingan bersama mereka bagi anak-anak buta. She left behind a Braille printing press, 200 typewriters, and most importantly, a commitment to improve the lives of Indonesia's special needs children. Dia meninggalkan sebuah mesin cetak Braille, 200 mesin ketik, dan yang paling penting, komitmen untuk memperbaiki kehidupan anak-anak kebutuhan khusus Indonesia. Today, thanks to USAID and its partner, Helen Keller International, her vision is being fulfilled and blind children are being integrated into public schools. Hari ini, berkat USAID dan mitra, Helen Keller International, visi nya sedang terpenuhi dan anak-anak buta yang terintegrasi ke dalam sekolah-sekolah umum.

Public education is compulsory in Indonesia until the age of 15, but special needs children are unofficially exempt. Pendidikan publik wajib di Indonesia sampai umur 15, tapi kebutuhan khusus anak-anak tidak resmi dibebaskan. Exclusion from education has negative consequences for those children and creates a marginalized population whose opportunities to be fully productive are severely limited. Pengecualian dari pendidikan memiliki konsekuensi negatif bagi anak-anak dan menciptakan penduduk yang terpinggirkan kesempatan untuk menjadi produktif sepenuhnya sangat terbatas. Only 50,000 of Indonesia's one million estimated special needs children have access to education, primarily through charities. Hanya 50.000 dari satu juta anak di Indonesia diperkirakan kebutuhan khusus memiliki akses ke pendidikan, terutama melalui badan amal. But today, the government is devolving authority over education to local officials, creating an opportunity to design inclusive policies that would bring these children into public schools. Tapi hari ini, pemerintah devolusi kewenangan atas pendidikan kepada pejabat setempat, menciptakan kesempatan untuk merancang kebijakan inklusif yang akan membawa anak-anak ke sekolah-sekolah umum. In response, USAID helped a pilot program in Jakarta lead the way in setting new standards for special needs education. Sebagai tanggapan, USAID membantu program percontohan di Jakarta memimpin upaya menetapkan standar baru untuk pendidikan kebutuhan khusus. The “early intervention” program provides specially trained teachers that prepare preschoolers for regular public schools. Intervensi "awal" Program menyediakan guru khusus yang terlatih yang mempersiapkan anak-anak prasekolah untuk sekolah umum biasa. Indri Aklifia Salsabila, known as Caca, pronounced “cha-cha,” is one of the pioneer children who took part in the program. Indri Aklifia Salsabila, yang dikenal sebagai Caca, diucapkan "cha-cha," adalah salah satu pelopor anak yang ikut dalam program ini. Abandoned by her mother because she was blind, Caca has been raised by her grandmother. Ditinggalkan oleh ibunya karena dia buta, Caca telah dibesarkan oleh neneknya. Determined not to let Caca's disability limit her, she enrolled Caca in the program. Bertekad untuk tidak membiarkan kecacatan membatasi Caca dia, dia terdaftar Caca dalam program ini. Thanks to Caca's hard work, she is ready to start the first grade in her neighborhood school. Terima kasih untuk kerja keras Caca, dia siap untuk memulai kelas pertama di sekolah lingkungan rumahnya.

Tapi pusat lebih dari sekedar sekolah persiapan untuk anak-anak prasekolah. It is also a national resource for teachers, who come there to learn techniques for teaching blind children. Ini juga merupakan sumber daya nasional untuk guru, yang datang ke sana untuk mempelajari teknik-teknik untuk mengajar anak-anak buta. From 2003 to 2005 this program has trained over 300 teachers. Tahun 2003 sd 2005 program ini telah melatih lebih dari 300 guru. The center also teaches Braille and provides Braille textbooks. Pusat ini juga mengajarkan Braille dan menyediakan buku Braille. On a national level, two classifications of training for teaching visually impaired students have been developed, and the government has given grants to schools that are equipped to accommodate special needs children. Pada tingkat nasional, dua klasifikasi pelatihan untuk mengajar siswa tunanetra telah dikembangkan, dan pemerintah telah memberikan hibah untuk sekolah-sekolah yang dilengkapi untuk mengakomodasi kebutuhan khusus anak-anak. Thanks to the ongoing influence of Helen Keller and a grandma committed to Caca's education, the future looks bright for this clever child. Berkat pengaruh yang berkelanjutan dari Helen Keller dan seorang nenek berkomitmen untuk pendidikan Caca itu, masa depan terlihat cerah bagi anak ini pintar. As Helen Keller once said, “Although the world is full of suffering, it is full also of the overcoming of it.” Sebagai Helen Keller pernah berkata, "Meskipun dunia penuh dengan penderitaan, penuh juga dari mengatasi itu."

by : USAID.COM


Indonesia untuk Alamat Anak Dengan Kebutuhan Khusus

Surabaya. Education Minister Mohammad Nuh is calling for comprehensive data to be collected on the number of children with special needs in order to determine how many schools were needed to cater to them. Menteri Pendidikan Mohammad Nuh memanggil data yang komprehensif untuk dikumpulkan pada jumlah anak-anak dengan kebutuhan khusus untuk menentukan berapa banyak sekolah yang dibutuhkan untuk melayani mereka.

“Their number is small and thus must be easy to map out on the number of children with special needs,” the minister said at Klampis Ngasem Inclusive Elementary School in the East Java capital on Monday. "Jumlah mereka yang kecil dan dengan demikian harus mudah untuk memetakan pada jumlah anak-anak dengan kebutuhan khusus," kata menteri di Klampis Ngasem Inklusif SD di ibukota Jawa Timur pada hari Senin.

Nuh also said the school fees for children with special needs were too high because many teachers at special schools were contracted and thus paid directly by parents. Nuh juga mengatakan biaya sekolah bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus terlalu tinggi karena banyak guru-guru di sekolah khusus dikontrak dan dengan demikian dibayarkan langsung oleh orang tua.

He said the government was considering giving more school operational assistance funds (BOS) to such schools. Dia mengatakan, pemerintah sedang mempertimbangkan memberi lebih banyak dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk sekolah tersebut.

“You see it yourself that schools accepting children with special needs require more teachers,” Nuh said. "Anda lihat sendiri bahwa sekolah menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus membutuhkan lebih banyak guru," kata M. Nuh.

“Sometimes they need one teacher for three students, or sometimes one teacher for one student. "Kadang-kadang mereka membutuhkan seorang guru untuk tiga siswa, guru atau kadang-kadang satu untuk satu siswa. This means those schools need more teachers and thus need more financial assistance.” Ini berarti sekolah-sekolah memerlukan lebih banyak guru dan dengan demikian membutuhkan lebih banyak bantuan keuangan. "

Although he did not say how much aid would be provided, he did promise that teachers would be integrated into the government system. Meskipun ia tidak mengatakan berapa banyak bantuan akan diberikan, ia berjanji bahwa guru akan diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan.

by : tejo amir .

kasus special needs pada ADHD

Rida berusia 7 tahun. Saat ini dia duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Orang tuanya seringkali mendapatkan masukan dan laporan dari gurunya bahwa dia seringkali jalan-jalan di kelas. Rida lebih banyak berdiri dan tidak fokus pada pekerjaan sekolahnya.

Orang tuanya pun mengakui bahwa di rumah pun Rida seperti itu. Seringkali Rida berganti-ganti aktivitas dan tidak pernah sampai selesai. Misalnya, bermain bongkar pasang dan selang beberapa menit kemudian sudah beralih pada permainan yang lain.

Kondisi seperti ini bisa mempengaruhi prestasinya di sekolah. Rida seringkali sulit dikontrol. Dia sering mengabaikan apa yang Mamanya perintahkan.

Kasus yang dialami Rida hanyalah salah satu kasus yang terjadi pada anak-anak lainnya. Kadangkala sebagai orang dewasa, jika kita memperhatikan seorang anak yang berganti-ganti aktivitas, kita memiliki asumsi bahwa anak itu mengalami kebosanan.

Namun, perlu diperhatikan lebih seksama lagi, apakah anak itu memang bosan atau ada hal lain yang terjadi padanya. Ketidakmampuan anak untuk menaruh perhatian terhadap berbagai aktivitas tentunya dapat menghambat perkembangan akademik dan perkembangan sosial anak.
Hal ini dapat terjadi karena dia tidak dapat menyelesaikan tugas dengan penuh perhatian dan proses belajar yang terganggu. Oleh sebab itu sangat penting jika orang tua maupun pendidik dapat melakukan deteksi atau mengetahui lebih awal yang terjadi pada anak sehingga dapat dilakukan penanganan dengan tepat.

Pada kasus Rida dan yang akan kita bicarakan lebih jauh merupakan sebuah ilustrasi mengenai Gangguan Pemusatan Perhatian atau Attention Deficit/ Hiperactivity (ADHD).

by :http://iklanwow.com/search/contoh-kasus-special-needs-ii

kasus special needs

Mengenali kondisi anak sejak dini sangatlah penting. Sebab, bukan mustahil si buah hati memerlukan penanganan khusus karena mengalamai kesulitan belajar secara spesifik. Padahal ia bukanlah anak yang bodoh.

Matahari memancarkan sinarnya dengan terik. Namun sekumpulan anak-anak tanggung berusia 7-12 tahun tidak peduli dengan sengatan sang surya. Mereka bahkan berlari-larian di halaman sekolah dasar Pantara, Senopati, Jakarta Selatan.

Lonceng sekolah tanda istirahat memang belum lama dibunyikan. Tampak seorang anak laki-laki berkacamata sedang mengejar temannya yang berlari-lari membawa sebuah bola. Di sudut lainnya tiga anak perempuan sedang duduk-duduk dan mengobrol di bawah sebatang pohon rindang.

Sepintas tidak ada yang perlu dipertanyakan dengan segala tingkah polah mereka. Namun, di balik semua itu, ternyata mereka merupakan anak-anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik (learning difficulties/LD). Bahkan, sering disebut sebagai anak yang memiliki gaya belajar berbeda.

Venty, 38, merupakan salah sato orang tua yang memiliki anak dengan kesulitan belajar spesifik. Menurut ibu rumah tangga ini, ia menyadari anak keduanya, Michael, 8, mengalami kesulitan belajar saat bocah laki-laki ini masuk SD. Awalnya Michael mengalami kesulitan belajar dan selalu tertinggal dibanding teman-temannya.

„Michael juga selalu mengeluh kepada saya karena sulit mencerna pelajaran yang diterimanya,“ ujar Venty kepada Media Indonesia, Selasa, 2/5. Akibatnya bocah ini menjadi minder dengan kondisinya dan membuat dia enggan pergi ke sekolah.

Ibu dua putra ini menyadari kesulitan Michael. Padahal putranya itu bukan siswa yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata. Setelah berkonsultasi dan melakukan observasi dengan seorang psikolog, ternyata Michael mengalami kesulitan belajar spesifik (LD) yakni sulit berkonsentrasi (ADD/Attention Deficit Disorder).

Akhirnya setelah enam bulan bersekolah di SD biasa, Venty pun memindahkan buah hatinya ini ke SD Pantara, sebuah sekolah yang mengkhususkan dalam pendidikan untuk anak-anak LD. Hanya dalam waktu dua minggu Michael mulai menunjukkan perubahan yang berarti. „Dia menjadi lebih percaya diri dan yakin bahwa sesungguhnya ia juga mampu belajar,“ ungkapnya.

Sistem Belajar

Kemajuan yang diperoleh Michael tak lepas dari sistem belajar yang dilakukan sekolah ini. Di sana para siswa dapat belajar sesuai dengan kesulitan mereka. Menurut Kepala SD Pantara, Deisi A. Gautama, Psi, masih banyak orangtua yang tidak menyadari jika buah hati mereka mengalami LD.

Umumnya, meskipun anak-anak ini mengalami kesulitan belajar, mereka sebetulnya memiliki kecerdasan rata-rata atau bahkan di atas rata-rata.

Sistem belajar yang lebih banyak praktek membuat anak-anak ini sangat menikmati materi yang diajarkan guru mereka. „Setiap kelas maksimal berisi 10 orang murid, dibimbing oleh dua orang guru,“ kata Deisi. Venty mengakui perhatian penuh yang diberikan guru kepada muridnya sangat efektif karena kebutuhan setiap anak berbeda-beda. Akibatnya anak menjadi lebih dihargai. Selain itu Venty mengikutsertakan jagoan ciliknya ini kursus piano dan Kumon. Kini, Michael pun mulai tumbuh menjadi anak yang mandiri dan percaya diri.-Prihandini/M-3


by :http://myhealthylife.wordpress.com/2010/04/20/anak-dengan-kebutuhan-khusus/

Selasa, 11 Mei 2010

kasus anak indigo

Annisa Rania Putri, yang lahir tahun 1999, aktif berbicara dalam bahasa Inggris. Padahal bahasa ini bukan bahasa sehari-hari dalam keluarga mereka. Menurut orangtuanya, kemampuan bicara dalam bahasa Inggris ini didapatnya tanpa belajar, tak lama setelah ia mulai bisa bicara. Selain itu, gadis cilik ini menguasai beberapa bahasa lain, seperti bahasa Arab dan bahasa Korea. Annisa pun kerap memberikan ceramah tentang spiritualitas di hadapan orang-orang dewasa. Belum lagi kemampuannnya merancang bangunan bak seorang arsitek berpengalaman. Sebuah rumah di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Timur, adalah contoh karyanya. Selain itu, bukunya yang bertema spiritualitas juga sudah diterbitkan.

Gadis cilik ini adalah salah satu anak yang di-blow up media sebagai anak indigo. Begitu pula beberapa anak indigo lain beberapa kali diwawancarai media yang berupaya mengungkap keberadaan anak-anak istimewa ini.

Disinyalir keberadaan anak indigo ada sejak awal keberadaan manusia di bumi ini, namun istilah ‘indigo’ sendiri baru dipopulerkan oleh Nancy Ann Tappe, seorang konselor di Amerika Serikat pada era 80-an. Lewat bukunya ia menuturkan bahwa ia mengamati warna aura manusia untuk kemudian menghubungkannya dengan kepribadiannya. Dari pengamatan ini didapatlah sebuah warna indigo atau nila, yang merupakan campuran warna ungu dan biru. Warna ini biasanya dimiliki orang dewasa, namun ternyata dimiliki juga oleh anak-anak tertentu, hingga disebutlah mereka sebagai anak-anak indigo.

sumber : http://www.ummi-online.com/artikel-16-anak-indigo-istimewa-tapi-jangan-dianggap-aneh.html

Anak Indigo, Istimewa Tapi Jangan Dianggap Aneh

Dengan segala kelebihannya dibanding anak-anak lain – seperti memiliki kepandaian di atas rata-rata – keberadaan anak indigo menarik perhatian masyarakat. Namun keistimewaan mereka jangan dilebih-lebihkan agar mereka bisa hidup dalam lingkungannya secara normal.

Annisa Rania Putri, yang lahir tahun 1999, aktif berbicara dalam bahasa Inggris. Padahal bahasa ini bukan bahasa sehari-hari dalam keluarga mereka. Menurut orangtuanya, kemampuan bicara dalam bahasa Inggris ini didapatnya tanpa belajar, tak lama setelah ia mulai bisa bicara. Selain itu, gadis cilik ini menguasai beberapa bahasa lain, seperti bahasa Arab dan bahasa Korea. Annisa pun kerap memberikan ceramah tentang spiritualitas di hadapan orang-orang dewasa. Belum lagi kemampuannnya merancang bangunan bak seorang arsitek berpengalaman. Sebuah rumah di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Timur, adalah contoh karyanya. Selain itu, bukunya yang bertema spiritualitas juga sudah diterbitkan.

Gadis cilik ini adalah salah satu anak yang di-blow up media sebagai anak indigo. Begitu pula beberapa anak indigo lain beberapa kali diwawancarai media yang berupaya mengungkap keberadaan anak-anak istimewa ini.

Disinyalir keberadaan anak indigo ada sejak awal keberadaan manusia di bumi ini, namun istilah ‘indigo’ sendiri baru dipopulerkan oleh Nancy Ann Tappe, seorang konselor di Amerika Serikat pada era 80-an. Lewat bukunya ia menuturkan bahwa ia mengamati warna aura manusia untuk kemudian menghubungkannya dengan kepribadiannya. Dari pengamatan ini didapatlah sebuah warna indigo atau nila, yang merupakan campuran warna ungu dan biru. Warna ini biasanya dimiliki orang dewasa, namun ternyata dimiliki juga oleh anak-anak tertentu, hingga disebutlah mereka sebagai anak-anak indigo.

Berkemampuan di atas rata-rata

Anak-anak indigo disinyalir memiliki kemampuan istimewa. Dr H Tubagus Erwin Kusuma, SpKJ, yang banyak menangani kasus anak indigo, mengungkapkan bahwa anak-anak indigo itu umumnya punya ciri khusus seperti memiliki kecerdasan superior dengan IQ di atas 130. Pada tingkat kecerdasan ini, anak indigo dapat melakukan sesuatu tanpa belajar terlebih dahulu, sementara anak cerdas biasa baru bisa melakukan sesuatu setelah diajarkan terlebih dahulu.

Ciri lainnya adalah anak indigo sangat berbakat. Mereka juga humanis, konseptual, artistik dan kadang interdimensional (mampu melihat dalam berbagai dimensi). Maka tak heran bila Annisa dengan kemampuan konseptualnya bisa merancang rumah, dari mulai bentuk, bahan-bahan hingga infrastrukturnya. “Selain itu pembicaraannya memang jauh melampaui anak-anak sebayanya, sehingga mereka biasanya tidak mau bermain bersama anak-anak sebayanya,” kata psikiater kelahiran tahun 1939 ini. Pandangan anak indigo terhadap hidup dan kehidupan begitu dewasa, bahkan melebihi kebijakan orang dewasa.

Dokter Erwin menambahkan bahwa biasanya anak-anak indigo juga dapat membacaperasaan orang lain. Rasa empati mereka begitu peka, hingga bisa ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain dan tak segan memberikan bantuan pada orang lain. Mereka pun umumnya tertarik dengan segala hal yang berkaitan dengan alam dan kemanusiaan.

Selain kemampuan istimewa ini, beberapa anak indigo juga dikabarkan bisa melihat bahkan berkomunikasi dengan makhluk halus, begitu pula ada yang dikabarkan bisa “membaca” tanda-tanda sebelum sesuatu terjadi ataupun yang sudah berlalu, termasuk tentang dirinya sendiri. Akibatnya mereka sering dianggap mempunyai indera keenam.

Sementara itu kondisi umum yang juga kerap didapati pada anak indigo adalah kebiasaan berbicara sendiri—yang acap ditafsirkan kalau ia tengah bicara dengan makhluk ghaib. Kondisi ini sepintas mirip dengan anak autis yang kadang bicara sendiri. Namun kalau anak indigo omongannya terarah, sementara anak autis tidak terarah dan cenderung ngaco.

Karena memiliki sikap keseharian yang berbeda dengan anak-anak lainnya inilah, kata psikolog Astri S. Widianti, kadang membuat orang salah mengira anak indigo sebagai anak penderita ADD/ADHD (gangguan kekurangan perhatian/gangguan hiperaktif dan kekurangan perhatian). “Memang kalau tidak diamati secara jeli oleh orang-orang yang paham, bisa salah diartikan sebagai ADD/ADHD, hingga anak indigo malah dikasih perlakuan dan obat-obatan ADD/ADHD. Itu kan tidak benar,” kata psikolog yang bergabung di Essa Consulting ini.

Karena itu membawa anak-anak yang diduga kuat sebagai anak indigo kepada ahlinya, yaitu psikiater dan psikolog, untuk dilakukan serangkaian tes adalah hal pertama yang harus dilakukan orangtua agar anak-anak istimewa ini mendapat perlakuan yang semestinya.

Dijelaskan oleh dr Erwin, indigo itu adalah sebuah kelebihan, bukan penyakit – dalam klasifikasi internasional tentang penyakit dari WHO, tak ada penyakit indigo – dan tak dapat digolongkan sebagai cenayang atau paranormal. Keistimewaan ini juga bukan didasarkan atas keturunan, dalam satu keluarga bisa jadi hanya satu anak yang indigo, sementara yang lain tidak.

Kelebihan sebagai indigo ini pun, kata dokter yang menjabat sebagai Kepala Departemen Kesehatan Jiwa RSPAD Gatot Subroto Jakarta ini, akan dibawa si anak terus sampai dewasa. Namun sesuai perkembangan kepribadiannya, para indigo dewasa sudah bisa memahami dan mengelola emosinya hingga mampu memenej kelebihannya secara baik. Jadi mereka tak lagi tampak berbeda dengan orang lain di sekelilingnya.

Pengertian dan pendampingan orangtua

Meski sesungguhnya anak indigo peduli sekitar, dan mudah berempati namun mereka juga acap terlihat mudah terlibat konflik. Ini sesungguhnya disebabkan mereka sering tak setuju terhadap sesuatu hal yang tak sesuai penalarannya, tidak sabaran, mudah bosan hingga mudah marah. Karena itu mereka juga kadang digambarkan sebagai tipe anak yang ‘sulit’ untuk mendapatkan kawan.

Apalagi dengan tingkat kepandaian yang luar biasa bahkan melampaui kepandaian guru-gurunya, anak indigo punya potensi untuk sering berkonflik pula dengan guru-gurunya. Mereka ingin apa pun diterangkan sejelas-jelasnya untuk memuaskan keingintahuan mereka yang sangat besar sesuai tingkat intelektualitas mereka. Dalam banyak kasus, anak-anak indigo akhirnya banyak yang menjalani bersekolah rumah (homeschooling) karena sulit bergaul dengan guru dan teman-teman. Hal ini tentulah bukan keadaan yang nyaman buat anak-anak. Kondisi ini akan menjadi lebih parah dan menjadi beban berat buat anak indigo bila orangtua juga tak memahaminya.

Bila memang si anak sudah terdeteksi sebagai anak indigo, giliran orangtualah yang harus menempatkan diri menjadi orangtua yang baik bagi anak indigo. “Diperlukan konseling untuk orangtua, karena tak banyak orangtua yang mengerti keadaan anak indigo. Orangtua diarahkan untuk tahu bagaimana bersikap dan menyikapi anak agar si anak tidak merasa menjadi anak yang aneh. Dengan segala kelebihan dan kekurangan anak indigo, orangtua harus menyesuaikan diri dengan mereka, bukan anak indigo yang harus menyesuaikan diri dengan orangtua. Selain itu orangtua juga harus banyak tahu tentang indigo, misalnya dari internet, hingga wawasan dalam mendidik anak indigo semakin luas, tak sebatas yang didapat dari konseling saja,” papar Astri.

Selain untuk menyiapkan orangtua sendiri, konseling ini, tambah dr Erwin, diperlukan orangtua agar dapat mengkomunikasikan kondisi anaknya pada pihak luar, termasuk kepada guru-gurunya. Hingga kemudian guru bisa menjadi mediator antara anak indigo dengan teman-temannya, dan diharapkan teman-teman mereka bisa menerima kelebihan dan kekurangan anak indigo.

Untuk kemampuan mereka dalam melihat atau berkomunikasi dengan makhluk ghaib, orangtua juga perlu memberi pemahaman sekaligus perlindungan buat mereka. Sebagai anak kecil, melihat penampakan makhluk halus yang bisa jadi menyeramkan tentu amat mengganggu mereka. Mereka mungkin jadi cemas, takut dan bingung karena hanya dia yang bisa melihat mereka, sementara orang lain tidak. “Jelaskan bahwa makhluk itu memang ada, tapi ia tidak mengganggu kamu. Katakan, ‘Kamu tidak perlu takut, karena ia juga makhluk ciptaan Allah.’ Begitu juga dengan kejadian-kejadian lain yang hanya dia yang melihat, orangtua mesti memberi pengertian yang baik, bukan malah menyangkalnya,” terang Astri.

Dengan kekhasan mereka, anak indigo juga perlu diajari akhlak atau tata karma dan tata tertib – menurut istilah dokter Erwin tentang ‘harus dan jangan’. “Misalnya kenapa kita harus cium tangan kepada yang lebih tua? Lalu kenapa kita sebelum masuk kelas harus baris dan masuk satu persatu, tidak boleh semua sekaligus padahal pintunya kan lebar?” contoh ayah satu putri ini.

Untuk menjelaskan itu semua memang mesti diiringi kesabaran dan penjelasan detail dalam menjawab cecaran pertanyaan anak indigo. Segala ‘harus dan jangan’ mesti diajarkan agar anak indigo menjadi indigo dewasa yang bisa menghargai perbedaan dan tidak bentrok dengan lingkungannya.


by :Asmawati/wawancara: Firda Kurnia

MEMBANGUN KEMBALI MESIN TATA BAHASA PADA ANAK AUTIS

"Dr. Harry", Debra Schneider, dan Fridrik Grundvig. (JAMES OTTAR GRUNDVIG)
(Epochtimes.co.id)

Januari 2009, putra saya, Fridrik didiagnosa mengalami Gangguan Perkembangan Pervasif (GPP) atau Pervasive Developmental Disorder (PDD) dan menjalani pemindaian MRI aktif di Studi Universitas Columbia pada anak-anak yang mengalami fungsi bahasa rendah. Pada waktu itu, Dr. Harry Schneider memulai program perawatan jangka panjangnya pada Fridrik.

Schneider mengembangkan cara pengobatan dengan menggunakan transcranial direct-current stimulation (tDCS) atau stimulasi arus listrik satu-arah transkranial. Tujuannya untuk memperbaiki jalur saraf Fridrik, sambil mengajarinya bahasa dengan teknik "pengajaran implisit" yang menggunakan metode tatap muka, yakni satu pengajar menghadapi satu pasien.

"Dr. Harry," begitulah pasien spektrumnya (Gangguan Spektrum Autisme) memanggilnya, tidak bekerja sendirian. Di samping bekerja sama dengan Pusat Medis Universitas Columbia (CUMC) pada Studi MRI, kantornya di Plainville, New York, juga dijalankan oleh isterinya, Debra Schneider. Bersama-sama, dengan efisiensi bisnis yang menjadwalkan klien-kliennya di area Megapolitan New York, Amerika Utara, dan seluruh dunia - terkadang hingga tujuh hari per minggu untuk mengakomodasi "pasien luar kota" - mereka membentuk suatu tim yang hebat, namun juga ramah. Mereka tidak hanya ahli berhubungan dengan kliennya, namun juga dengan orang tuanya.

Berikut ini 10 pertanyaan hasil wawancara James Ottar Grundvig (JOG) bersama dengan Dr. Schneider (Dr. Harry) musim panas ini mengenai program perawatannya yang bekerja sama dengan Studi Universitas Columbia seperti yang dia lakukan pada putra saya yang mengalami gangguan berbicara yang parah.

JOG: Apakah gagasan atau hal-hal pencetus momen "Aha!" yang menunjukkan bila tDCS, sejalan dengan MRI aktif, merupakan jalur yang tepat untuk merawat anak dengan Gangguan Spektrum Autisme atau ASD (autism spectrum disorder)?

Dr. Harry: Momen itu terjadi setelah kami melakukan fungsional MRI pertama (fMRI) pada apa yang sekarang kami sebut sebagai anak LFA: anak autisme dengan fungsi bahasa rendah. Maksud kami sebenarnya di proyek CUMC adalah untuk menemukan neuropatofisiologi area otak dan konektivitasnya pada anak-anak ini.

Ibu pertama yang menyaksikan gambar hasil fMRI merasa bahagia sekaligus sedih (melihat) gambar otak putranya yang tidak dapat berbicara. Dia menceritakan pada kami, "Gambar itu akhirnya dapat menunjukkan apa yang salah pada anak saya. Terima kasih. Nah sekarang, apa yang bisa Anda lakukan untuk putra saya?"

Saya pikir, Aha! Kita mempunyai teknologi yang dapat membentuk kembali cara berbicara orang dewasa yang menderita afasia (tidak dapat berbicara) akibat stroke dan pada orang-orang dengan luka otak traumatis.

Bagaimanapun, seluruh pasien lahir dengan bawaan otak neurotipikal.

Bagaimana dengan otak autistik? Yah, sekarang kita mempunyai cara untuk menghasilkan semacam "peta jalan" atas cara kerja saraf anak LFA, dan kita telah memiliki teknologi yang mengatur kelenturan otak agar dapat menyempurnakan cara berbicaranya.

Kami membayangkan dapat mengombinasikan kedua modal - manifestasi atas ketiadaan konektivitas pada seorang anak yang mengalami ASD yang diungkap oleh fMRI dan transcranial direct-current stimulation (tDCS) - untuk mengembalikan bahasa pada anak-anak ini.

Sang ibu dan semua orang tua berpikir bahwa studi investigasi semacam itu sungguh berharga. Saya berkata pada diri sendiri. Kami membuat satu rencana!

JOG: Sudah berapa lamakah Studi Universitas Columbia diselenggarakan?

Dr. Harry: Sekitar 18 bulan sampai dua tahun.

JOG: Berapa lama - atau berapa banyak anak - sebelum contoh kasus pada anak spektrum mendapatkan jalannya melalui program ini?

Dr. Harry: Untuk program pemindaian di Columbia, kami hampir sampai pada: sekitar 100 anak. Untuk program rehabilitasi bahasa di fasilitas Plainview, tujuan kami mempelajari 250 sampai 500 anak agar dapat menarik kesimpulan penting.

JOG: Apakah sasaran jangka panjang atau tujuan perawatan program studi?

Dr. Harry: Tujuan jangka panjang dari pembentukan prosedur bahasa adalah untuk mempelajari kembali fungsi bahasa: kemampuan untuk memulai dan mengelola dialog penuh makna. Ini berarti mulai dari mengikis tata bahasa yang tidak pernah mereka dapatkan dan lantas menambahkan aspek bahasa pragmatis, yang mendasari lebih dari setengah dari apa yang kita katakan. (Michael A. Salvatore/ The Epoch Times/feb)


by : the epoch times.com

MENGEMBANGKAN KELEBIHAN ANAK AUTIS

TEMPO Interaktif, Jakarta: Kini Adihutama Wirasatya, 9 tahun, sudah mahir memainkan gamelan. Bahkan ia sudah bisa mencari nada sendiri dari alat musik tradisional itu. Kemudian murid kelas III Sekolah Dasar Negeri I, Ngemplak, Klaten, ini memiliki pemahaman konsep abstrak yang tidak kalah dengan teman sebayanya. Padahal tidak banyak yang bisa dikerjakan Wira–panggilannya–saat usianya beranjak lima tahun. Kala itu bocah laki-laki ini cuma bisa mengamuk dan menangis. Dia tidak bisa duduk tenang, berbicara, bahkan kesulitan untuk buang air besar.

“Yang jelas, saraf motorik kasar dan halusnya tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya,” ujar sang bunda, Lucy Catherine Isabella, 38 tahun, kepada Tempo saat dihubungi melalui telepon selulernya kemarin. Menurut Lucy, pada usia 18 bulan, Wira divonis dokter telah mengidap gangguan spektrum autistik.
Nah, pasca-vonis itu, Lucy mencoba beragam pilihan pengobatan demi anaknya. Awalnya, dokter menawari operasi anus buatan di perut Wira sebagai solusi kesulitan buang air besarnya. Padahal semua organ pencernaannya normal dan asupan seratnya pun tinggi. Karena itu, Lucy memutuskan tidak menuruti tindakan medis tersebut. Selain dokter, alumnus Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada 1996 ini mencoba terapi psikiater untuk membantu kemampuan bicara dan pengendalian emosi Wira. Tapi hasilnya, si kecil tidak mengalami kemajuan berarti.
Hingga suatu kali, saat Wira berusia 5,5 tahun, Lucy tertarik mendatangi Arogya Mitra Akupuntur, yang terletak di Dukuh Ngemplak, Kalikotes, Klaten, Jawa Tengah. “Ternyata hasilnya luar biasa,” Lucy mengungkapkan. Baru dua bulan terapi tusuk jarum oleh Eko Tunggono, anaknya sudah mengeluarkan suara. Kemajuan pun terus diraihnya. Memasuki bulan keenam, Wira bisa bicara layaknya anak normal. “Buang air besarnya juga sudah bisa secara alami,” mantan wartawati media harian di Ibu Kota ini memaparkan.
Seiring terapi, Lucy menjelaskan, dia selalu menumbuhkan persepsi positif terhadap anaknya. Ia pun selalu mengembangkan diri agar bisa memahami anaknya dengan baik. Yang terpenting, ia yakin kepada segala kemungkinan terbaik dan tidak pernah menyerah. Walhasil, kini Wira tumbuh menjadi anak sehat secara fisik maupun mental. Dan sebagai apresiasinya terhadap Eko Tunggono, Lucy menulis buku berjudul Dari Pulau Buru Menjadi Penyelamat Anak-anak Autis Hiperaktif pada Maret lalu. Apalagi di Klinik Arogya Mitra, Eko berusaha keras untuk mengembangkan kemampuan anak autis dan hiperaktif.
Sebetulnya, tidak cuma Lucy yang menghadapi problematika seperti ini. Masih banyak orang tua lain yang mencari solusi demi penyembuhan anak mereka sebagai pengidap autistik. Satu di antaranya adalah presenter televisi, Muhammad Farhan, 39 tahun. Anak pertamanya, Muhammad Ridzky Khalid, 10 tahun, divonis dokter mengidap autistik pada usia 18 bulan.
Sejak itu, bagi Farhan, yang terpenting adalah memberi pendidikan mengenai aturan dasar bagi Ridzky. “Paling tidak dia tahu norma dan sopan santun yang sudah berlaku umum,” katanya saat ditemui seusai acara peduli autisme sedunia di Graha Sucofindo, Jakarta, Kamis pekan lalu, misalnya, seperti cara membersihkan diri setelah dari kamar mandi, memakai pakaian, dan cara makan yang benar. “Kan tidak mungkin saat usianya 20 tahun, (dia masih) dicebokin bapaknya.”
Kemudian suami Nani Rubiyani ini selalu menumbuhkan sifat percaya diri kepada anaknya. Caranya dengan membawa Ridzky ke tempat-tempat umum, seperti pusat perbelanjaan. “Ada beberapa orang tua malu membawa anaknya ke luar rumah. Bahkan sampai ada yang disembunyikan,” katanya. Hal itu semakin membuat si anak terasing dari lingkungannya. Selain itu, dia tidak membebani target bagi si kecil harus bisa apa dalam beberapa bulan setelah sekolah. Ridzky sendiri adalah siswa sekolah inklusi di Sekolah Global Mandiri, Jakarta.
Saat ini, Ridzky ahli dalam pengetahuan tentang klasifikasi hewan dan tumbuhan. Tidak itu saja, dia juga hafal letak kota setiap negara yang terpampang di peta dunia. “Sebab itu, kalau ke Singapura atau Bali, kami selalu menyempatkan pergi ke kebun binatangnya,” ujar pria kelahiran Bogor ini. Yang jelas, kata Farhan, jika diarahkan ke jalur yang benar, anak autis berpotensi memiliki keahlian yang melebihi orang normal.
Hal itu sudah ada contohnya. Lihat saja kiprah seorang anak autis, Oscar Yura Dompas, 29 tahun, yang mampu menyabet gelar sarjana Sastra Inggris dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. Oscar berhasil mempertahankan scientific writing berjudul Plot Analyzes of Erich Maria Remarque’s All Quiet On The Western Front. Selain itu, pemuda berkepala plontos ini telah menelurkan buku berjudul Autistic Journey pada 2004.
“Ke depan, saya lagi nulis naskah film mengenai anak autis sedang jatuh cinta,” katanya saat ditemui Tempo di Graha Sucofindo, Jakarta, Kamis pekan lalu. Menurut sang ayah, Jeffrey Dompas, 52 tahun, sedari kecil Oscar tidak pernah mendapatkan terapi apa pun. Dia meyakini bahwa yang dibutuhkannya hanya naluri dasar orang tua untuk memahami dirinya. “Jadi, bagaimana memperlakukan dia layaknya anak normal saja,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Profesor Komaruddin Hidayat pun menyebutkan, anak autis bisa berkembang lebih optimal lewat pendidikan. “Pendidikan dapat membangkitkan rasa percaya diri anak autis,” katanya pada kesempatan yang sama. Untuk itu, ia menekankan, peranan keluarga sangat dibutuhkan bagi kemajuan kognitif si anak. “Keluarga adalah solusi bagi anak autis,” ia menegaskan.

by : Sumber: www.mlymutz.blogspot.com

Anakku Mengidap Autis

Nia (25) tak pernah menduga akan dikaruniai anak autis. Tapi apa daya, ia pun hanya bisa pasrah kepada Tuhan. Hanya usaha yang bisa ia lakukan agar kelak putranya itu bisa hidup layaknya anak normal.

Kevin adalah adalah anak pertama pernikahan Nia dengan Anton Simbolon. Kini usianya beranjak 5 tahun. Kelainan pada bocah lelaki kelahiran Medan, 1 Oktober 2002 ini mulai nampak ketika ia berusia dua tahun. Di usia itu ia belum bisa bicara dengan jelas.

“Sebelumnya ia tampak normal. Responnya pun masih normal. Jika dipanggil misalnya, ia akan menoleh dan melihat siapa yang memanggilnya itu,” kenang Nia perempuan berdarah Sunda itu.

Cara bicara Kevin yang lambat dan tidak jelas sebelumnya dianggap Nia dan keluarga hanyalah masalah keterlambatan pertumbuhan saja. Dan mereka yakin, Kevin pasti bisa berbicara layaknya anak normal seiring dengan pertumbuhan usianya nanti. Dan Kevin pun sempat mengikuti sekolah playgroup dengan sesama anak normal lainnya.

Namun hingga enam bulan kemudian, anggapan itu tenyata keliru. Kevin belum menampakkan perubahan. Bahkan, perilaku Kevin tampak semakin tidak seperti biasanya. Hal inilah yang akhirnya menyadarkan Nia bahwa ia perlu memeriksakan apa sebenarnya yang terjadi pada anaknya itu.

Karena kurangnya informasi tentang kelainan Kevin, Nia kemudian membawa Kevin ke Bandung. Dokter pertama yang ditemuinya adalah dr Dadang Sharief (spesialias anak) yang mengatakan, Kevin mengalami masalah (gangguan) pada pencernaan.

Dugaan-dugaan diagnosa yang belum jelas tentang kelainan yang terjadi pada Kevin sempat membuat Nia bingung. Hingga akhirnya atas rujukan dr Dadang Syarif sendiri, Nia pun bertemu dengan dr Meli Budiman (Ketua Yayasan Autis Indonesia).

Kebetulan waktu itu dr Meli Budiman sedang berkunjung ke Bandung. Dan atas diagnosa sang dokter, Kevin dijelasakan positif mengidap autis. “Dokter langsung tahu setelah memeriksa tingkah laku Kevin,” jelas Nia. Dan menyarankan agar Kevin menjalani terapi rutin.

Sayangnya, Kevin hanya bisa menjalani terapi selama enam bulan karena terkendala masalah biaya. “Terus terang saya akui, sebagai orang tua yang masih muda, waktu itu kami masih belum mapan secara finansial dan pengalaman,” kata Nia.

Maka dengan terpaksa Nia pun kembali ke Medan dengan harapan mendapat dukungan dari orangtua dan keluarga. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Nia tidak mendapat respon dan dukungan dari mereka, yang bahkan tidak menerima kenyataan yang menimpa Kevin.

Meski demikian, Nia dan suami tidak menyerah. “Saya dan ayah Kevin berusaha berjuang sendiri tanpa ada dukungan dari pihak keluarga dengan usia yang masih muda, dengan keadaan yang belum mapan,” kata Nia.

Dengan keterbatasan itu, Nia pun merawat Kevin sendirian. “Selama satu tahun Kevin kami rawat di rumah, tanpa bimbingan medis,” katanya. Ibu muda ini hanya merawat anaknya dengan mengandalkan buku-buku dan video.

Hingga pada tahun berikutnya, Nia dan suami yang bekerja sebagai pegawai swasta, memutuskan agar Kevin kembali mengikuti terapi dan pendidikan di Yayasan YAKARI, yayasan khusus untuk penanganan bagi anak penderita autis di Kota Medan.

Meski demikian, tak banyak harapan Nia pada Kevin. Harapan yang hampir sama bagi ibu yang juga memiliki anak penderita autis, yang juga terjadi bagi Mama Yudha misalnya; juga orang tua lain yang menghadapi kondisi yang sama.

Harapan yang sangat sederhana sebenarnya. “Bisa mandiri saja sudah cukup,” pinta Nia. Kenyataanya, hingga kini Kevin masih kesulitan untuk makan sendiri, buang air kecil (besar) sendiri. Yang jelas, semuanya masih mengharapkan uluran tangan orang lain, meskipun untuk melakukan hal semudah apapun.

Semakin Sayang Karena Autis

Bagi Nia, menerima kenyataan memiliki anak menderita autis awalnya sangatlah tidak mudah. Apalagi Kevin adalah putra pertamanya dari perkawinan mudanya.

Rasa minder pun sering dialaminya. Tapi perasaan itu justru menyadarkannya bahwa ia harus menerima Kevin bagaimanapun ia adanya. “Sikap menerima adalah kunci ketabahan bagi setiap orangtua yang memiliki anak autis,” jelas Nia. Sikap yang pada awalnya sulit ia lakukan.

“Kalau bukan orangtua yang berusaha mendekatkan diri, maka semakin sulit bagi penderita autis untuk hidup berkembang seperti yang diharapkan,” katanya.

Nia pun mengaku semakin sadar akan makna cinta sesungguhnya. Juga semakin sadar bahwa anak adalah titipan Tuhan yang bagaimanapun ia adanya haruslah dijaga dan dibesarkan dengan ikhlas. Bahkan dengan rasa syukur.

“Jika Kevin tidak menderita autis, mungkin cinta saya tidak sebesar ini. Jika Kevin tumbuh normal, mungkin saya tidak akan merasakan kebahagiaan yang pasti tidak dirasakan orangtua lain,” tambahnya.

Kebahagiaan orangtua yang memiliki anak autis seperti Nia memang berbeda dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh orangtua yang memiliki anak normal.

Nia mengaku akan bahagia jika misalanya, Kevin menunjukkan ekspresinya ketika dipanggil oleh ibunya; jika ia berbicara dengan baik atau ketika anaknya itu mampu melakukan hal lain yang bisa dilakukan anak normal, meski tak banyak.

“Mungkin kedengaran biasa saja bagi orang lain. Tapi itulah kebagiaan saya sebagai orang tua yang memiliki anak pengidap autis,” katanya dengan raut wajah sedih.

Pengalaman itu sekaligus membuat ia semakin sayang kepada Kevin. “Saya dan suami akan merawatnya semampu kami. Apa pun akan kami lakukan demi Kevin. Sebab inilah tanggungjawab kami sebagai orangtua.” Tak terasa matanya tampak basah memerah.

Orangtua, Terapis Autis Sesungguhnya

Apakah autis bisa disembuhkan? Semua orangtua seperti Nia pasti mengharapkan jawaban yang sama, yaitu: ya. Ini pulalah yang menjadi dasar keyakinan mereka sehingga berbagai upaya pun mereka tempuh.

Penanganan autis sejauh ini dilakukan dengan terapi, seperti terapi perilaku, wicara dan sensori (okupasi). Upaya lain adalah mencari gangguan metabolisme yang mungkin menjadi menjadi faktor pencetus gejala autis. Dilakukan melalui serangkaian pemeriksaan darah, faecus, urine dan rambut (terapi biomedis).

Inilah upaya yang juga dilakukan YAKARI sejauh ini. Namun Arief Budi Santoso, konsultan pendidikan di yayasan itu mengatakan, berhasil tidaknya upaya itu tak lepas dari peran orangtua sendiri. Sebab orangtualah orang yang terdekat dengan anaknya.

Arief menjelaskan contoh kasus yang pernah dialami Catherine Maurice, seorang ibu yang memiliki tiga anak yang sama-sama mengidap autis. Seorang ibu yang terbilang berhasil hingga bukunya (“Let Me Hear Your Voice”), banyak menjadi acuan terapi bagi seluruh orangtua yang memiliki anak autis di seluruh dunia. “Catherine telah membuktikannya, “jelas Arief.

Penyebab autis

Sejauh ini penyebab autis dipastikan terjadi karena faktor genetik. Namun meskipun anak membawa predisposisi genetik, bila tidak ada faktor pencetus dari luar, diperkirakan gejala autis tidak timbul.

Selain itu adalah faktor pencetus sebelum kelahiran, seperti keracunan logam berat, terkena infeksi virus rubella, CMV, toxoplasma, jamur. Juga dikarenakan ibu memakan obat-obatan keras terutama pada saat trimester pertama masa kehamilan. Hal ini bisa mengganggu struktur susunan syaraf pusat janin sehingga anak akan menunjukkan gejala autis sejak akhir.

Autis juga muncul akibat faktor pencetus setelah kelahiran. Hal ini bisa disebabkan oleh terjadinya infeksi virus, jamur atau bakteri, terutama dalam usus. Adanya gangguan pencernaan yang menyebabkan berbagai macam alergi makanan, keracunan logam berat, seperti pB, Hg, As, dan Sb. Akibatnya, terjadi gangguan kekebalan tubuh (imunodefisiensi) sehingga anak sering sakit.

Juga diakibatkan banyaknya exorphin (casomorphin dan gliadorphin) yaitu protein yang berasal dari casein (susu sapi) dan gluten (tepung terigu) yang tidak dapat dicerna anak. Sehingga memberikan efek seperti morphin. Untuk diketahui, fungsi otak yang dipengaruhi morphin adalah bidang prilaku, perhatian, kecerdasan dan emosi.

Bila hal ini terjadi, maka munculah apa yang disebut autis regresif. Gejalanya bermacam-macam. Ketika anak sudah sempat berkembang normal, tapi kemudian terjadi kemunduran pada umur 18-24 bulan. Bahkan, perkembangannya bisa terhenti.

Gejala lain adalah, apa yang telah dipelajari dan dikuasai si anak menghilang perlahan-lahan. Misalnya, anak sudah mampu berbicara, tapi kemudian kemampuan bicara itu hilang disertai dengan munculnya gejala-gejala autis. Gejala ini terlihat dari prilakunya yang tidak normal.


by :(The Muse; Tonggo Simangunsong; 14 Agustus 2007)

Senin, 10 Mei 2010

Membangun Kemampuan Berbicara Pada Anak Berkebutuhan Khusus

(AUTISTIC/ADHD/SPEECH DELEY)

A. Pendahuluan

Sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna penciptaannya, manusia dibekali beberapa aspek kehidupan yang berbeda dengan makhluk lain. Aspek kehidupan ini menjadi satu-kesatuan yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Maka apabila terganggu perkembangan salah satu aspek maka akan menggangu perkembangan aspek lainnya secara sinergi. Aspek-aspek itu antara lain adalah aspek fisik, kognitif, komunikasi/berbicara, sosialisasi, emosi dan spiritual. Semua aspek kehidupan ini tumbuh dan berkembang secara alami menuju pada kematangannya, dimulai dari kondisi yang simpel sampai kepada keadaan yang kompleks.

B. Kemampuan berbicara atau berkomunikasi

Pada dasarnya kemampuan berbicara pada semua anak tubuh dan berkembang secara alami. Perkembangan kemampuan berbicara ini akan berkembang dengan optimal sejalan dengan perkembangan dan kematangan otak anak. Stimulasi dari lingkungan disekitarnya juga sangat membantu kemampuan bicaran anak, sehingga anak akan lebih cepat belajar berbicara. Tapi dasar utama perkembangan kemampuan berbicara pada anak adalah kemampuan atensi dan keinginan untuk berkomunikasi dengan lingkungan.

Anak dengan gangguan penglihatan sekalipun (tunagrahita) mampu mengembangkan kemampuan berbicara padahal mereka tidak melihat bagaimana manusia lain berbicara. Mereka hanya mendengar kata-kata, berusaha membangun atensi dalam kegelapan, berkeinginan untuk memahami dan belajar memproduksi bunyi nonsenword, sampai ada koreksi-koreksi dari lingkungannya yang membuat mereka belajar dari kesalahan. Sampai kemudian lambat laun mereka mampu berbicara dengan melakukan proses pertukaran komunikasi yang bermakna dengan orang yang ada didekatnya.

C. Mengapa anak Autistic/ADHD/Speech Deley terlambat berbicara ?

Salah satu penyebab mengapa pada beberapa anak dengan gangguan perkembangan mengalami keterlambatan berbicara adalah karena adanya gangguan neurobiologis pada susunan saraf pusatnya. Sehingga pertumbuhan sel-sel otak di beberapa tempat tidak tubuh sempurna. Gangguan pada susunan saraf pusat ini kemudian dapat menyebabkan anak kehilangan atensi terhadap lingkungan, sensitifitas pada panca indranya, kesulitan mengkoordinasikan motorik kasar di mulut untuk mengunyah, menelan dan memproduksi kata dan gangguan perilaku (hiperaktifitas/hipoaktifitas, perilaku stereotipe dan impulsifitas).

D. Langkah-langkah yang diperlukan untuk membantu mengatasi keterlambatan berbicara.

Sikap orang tua yang cuek, diagnosa para profesional yang semu dengan mengatakan bahwa “anak ini sehat, hanya saja berbicaranya agak terlamabat” atau anggapan kakek-nenek yang mengatakan”anak laki-laki memang suka lebih lambat berbicaranya, dulu ayahnya juga terlambat ngomongnya”, tidak akan memambantu anak keluar dari permasalahannya.

Semakin peduli orang tua dan semakin cepat menemukan profesional yang mampu melakukan penangan dengan cepat dan tepat, maka semakin cepat anak akan berbicra dan mengejar tugas-tugas perkembangan anak seusianya. Diet makan juga menjadi kunci kesuksesan intervensi dini pada anak dengan gangguan perkembangan. Diet diperlukan agar menjaga tingkah laku anak, tidak berkembang kearah yang lebih buruk. Karena pada anak dengan gangguan perkembangan ada beberapa makanan yang justru meperburuk perilakunya.

E. Bantu “proses terapi” dengan terapi dirumah

Memberikan intervensi dini dengan menitipkan anak di tempat terapi atau sekolah untuk anak berkebutuhan khusus adalah langkah yang bagus. Namun tidak serta-merta orang tua merasa lepas kewajiban dan tanggung jawab. Karena orang tua tidak tahu apa yang sebenarnya diakukan terapisnya disekolah atau di tempat terapi. Diperlukan juga intrvensi dini dilakukan di rumah oleh orang tua. Atau kalau tidak mengundang jasa profesional kerumah agar proses intervensi yang dilakukan pelaksanaanya berjalan dengan tepat. Pelaksaanaan proses intervensi secara tepat sangat berguna agar hasilnya tidak mengecewakan sehingga tidak merugikan si anak karena waktunya terbuang percuma.

Intervensi dini yang baik dan selama ini bisa dipertanggung jawabkan adalah dengan menggunakan Metode Lovass. Metode ini Memiliki keunggulan dibandingkan metode lain karena sifatnya yang sangat tersetruktur, kurikulunya jelas dan keberhasilannya bisa dinilai secara objektif. Untuk mengoptimalkan hasil dan keberhasilan treatment menggunakan metode ini, harus disempurnakan dengan melakukan sentuhan emosi dan terapi Cranio Sacral. Pelaksanaan terapi dilakukan berdurasi 4-8 jam sehari dan akan menunjukan keberhasilanya dalam rentang waktu ± 1-2 tahun.


Ditulis oleh Sekolah Dolan pada 4 Juni 2009

Sulitnya Menangani Anak-anak Berkebutuhan Khusus


KOMPAS.com - Asmirandah Yanti (5) selalu bersemangat saat diberi buku bacaan anak. Meski matanya hampir melekat di kertas buku, Asmirandah yang memiliki masalah penglihatan—akibat lensa di dalam matanya tak menyatu—tidak pernah bosan melihat-lihat buku bacaannya. Sudah hampir enam bulan ini Asmirandah diajar secara khusus oleh Munawar, guru honorer Taman Kanak-kanak (TK) Pertiwi 1 Cakke, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Bersama Asmirandah, ada Rais (7) yang tangan kanan dan kakinya kurang sempurna, serta Hasbil (3) yang kedua telapak kakinya ke belakang. Mereka belajar bersama-sama. Anak-anak yang memili ki keterbatasan fisik itu kesulitan untuk bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) yang berlokasi di pusat ibu kota kabupaten. Untuk bersekolah di TK atau SD reguler yang dekat dengan rumah juga sulit. Karena itu, Munawar yang mendapat pelatihan soal pendidikan inklusi dari Helen Keller International (HKI), lewat program National Opportunities for Vulnerable Children, melakukan terobosan dengan berkunjung langsung ke rumah anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). ”Anak-anak itu sebenarnya punya semangat tinggi untuk belajar,” ujar Munawar yang merogoh kocek sendiri senilai Rp 30.000 tiap kali berkunjung ke rumah Asmirandah di Desa Malua. Di rumah itulah, ketiga anak berkebutuhan khusus itu diajar untuk mandiri dengan keterbatasan fisik mereka, serta bermain dan belajar untuk merangsang keinginan belajar. ”Anggota keluarga juga terlibat supaya mereka mendorong anak-anak ini nantinya mau bersekolah. Mendidik ABK sejak dini bisa membuat lebih percaya diri untuk bersekolah,” kata Munawar. Mengajar anak berkebutuhan khusus di usia dini di rumah juga dilakukan Sitti Mariani, Pelaksana Tugas Kepala TK Pertiwi 1 Cakke. Sekolah ini sudah lama bersedia menerima anak berkebutuhan khusus yang dibiarkan berbaur dengan anak-anak lainnya. Selain terjun langsung untuk menjangkau ABK usia dini di kampung-kampung, para guru TK ini juga menyebarkan semangat pendidikan inklusi kepada guru-guru TK lainnya. Upaya ini mulai berbuah, mulai ada guru TK yang mau menjangkau anak berkebutuhan khusus usia dini yang ada di sekitar sekolah atau tempat tinggal mereka. Membuka diri Para guru TK diajak untuk mulai mendata anak-anak berkebutuhan khusus di wilayahnya. Sekolah pun mulai mengumumkan secara terbuka untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Menurut Sitti, ABK seperti penyandang autis dan down syndrome yang ada di TK ini justru kemajuannya lumayan. Pasalnya, mereka berbaur dengan anak-anak reguler. Jadi, mereka tertantang untuk tidak ketinggalan dalam belajar. Meski tidak ditetapkan secara resmi sebagai sekolah inklusi, banyak SD di Kabupaten Enrekang yang mulai menerima ABK di sekolahnya. Kebijakan itu membuat ABK yang tidak bisa mengakses SLB bisa menikmati bangku sekolah, belajar bersama anak-anak lainnya. Belum tersedianya guru pembimbing khusus yang berkualitas di sekolah-sekolah membuat layanan ABK di sekolah reguler tidak maksimal. Najmiani, Kepala SDN 74 Bolang, Kecamatan Alla, mengatakan, sekolah ini mulai menerima siswa berkebutuhan khusus sejak tahun lalu. Layanan itu diberikan karena orangtua siswa yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus sulit mengakses SLB. Di sekolah tersebut ada empat ABK, antara lain, gangguan penglihatan, autis, dan tunarungu. Para siswa berasal dari keluarga miskin dengan mata pencarian orangtua umumnya sebagai petani. Merebaknya sekolah inklusi di Kabupaten Enrekang itu setidaknya bisa menjangkau 258 siswa ABK. Ada sekitar 80 SD yang membuka diri untuk menerima ABK meskipun tidak semuanya secara resmi ditetapkan sebagai sekolah inklusi. Widya Prasetyanti dari HKI mengatakan, terbukanya sekolah untuk menerima ABK tumbuh dari kesadaran para pendidik dan masyarakat. Keluarga pun mulai membuka diri dan membuang rasa malu memiliki anak cacat. Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia Kabupaten Enrekang Akbar Dahali mengatakan, para pendidik di sekolah reguler perlu terus disadarkan untuk tidak membeda-bedakan siswa dalam layanan pendidikan. Sekolah reguler tidak bisa menutup mata melihat ada sejumlah ABK yang tidak bisa mengakses layanan pendidikan karena kecacatan mereka. Hingga saat ini baru sekitar 20 persen ABK yang terlayani pendidikan di SLB. Padahal, anak-anak ini juga memiliki hak yang sama untuk menikmati pendidikan demi masa depan mereka. Semangat mengembangkan pendidikan inklusi yang tumbuh di Enrekang mulai memberi harapan. Anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik pun tidak lagi terhalang untuk mengembangkan diri.

Dukungan Tulus bagi Anak Berkebutuhan Khusus

kompas.com
Anak autisme atau berkebutuhan khusus, bisa mandiri apabila orang-orang di sekitarnya mau menerima dan mendukungnya.
ARTIKEL TERKAIT :

Sam Dawson adalah seorang pria penyandang autisme yang secara mandiri menjalani hidupnya dan bekerja pada sebuah kedai kopi. Menariknya, hidup Sam pun berubah saat memiliki anak. Walaupun memiliki keterbatasan, dia terus berdedikasi menjadi ayah yang baik, yang mampu membesarkan anaknya dengan upaya dan perjuangan keras.

Itulah cerita I am Sam, film keluarga yang dirilis tahun 2001 dan dibintangi Sean Penn, aktor kawakan Amerika. Ceritanya mampu menggambarkan bagaimana seorang penyandang autisme hidup berdampingan dengan masyarakat bahkan mampu bersosialisasi. Anak autisme atau berkebutuhan khusus, bisa mandiri apabila orang-orang di sekitarnya mau menerima dan mendukungnya.

Definisi
Menurut situs Yayasan Autisme Indonesia, autisme bukanlah penyakit, tapi merupakan gangguan perkembangan kompleks yang gejalanya harus sudah muncul sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan neurologi pervasif ini terjadi pada aspek neurobiologis otak dan memengaruhi proses perkembangan anak. Akibatnya, anak tidak dapat otomatis belajar berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga dia seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.

Dari tahun ke tahun, jumlah anak penyandang autisme terus bertambah di dunia. Tidak pandangan suku, ras, etnis, kelompok masyarakat, dan perbedaan fisik, autisme bisa terjadi pada siapa pun. Seperti informasi dari situs Autismworld, diperkirakan setiap hari ada 50 anak yang terdiagnosa autisme. Penyandangnya lebih banyak laki-laki dibanding anak perempuan dengan perbandingan 4:1.

Deteksi Autisme
Observasi perilaku bisa mulai dilakukan saat anak-anak masih berusia dini di bawah umur tiga tahun atau saat bayi sekalipun. Biasanya, para orangtua mulai merasakan ada kejanggalan dibandingkan anak-anak seumurnya. Danny Tania, Program Manager & Acting Principal Linguistic Council, memaparkan bahwa untuk membantu mendeteksi anak mengalami autisme atau tidak, bisa dilihat dari sensory processing disorders, baik berupa over sensitive atau under sensitive.

Anak-anak penyandang autisme umumnya mengalami suatu hambatan dan kerusakan fungsi bagaimana mereka memroses panca indera dari lingkungan sekitar. Akibatnya, anak penyandang autisme cenderung bersikap aneh, misalnya menarik diri, cuek, marah-marah, atau impulsif.

Langkah Tepat
Oleh karena itu, kemampuan orangtua dalam mendeteksi dini akan memberikan pengaruh yang amat bermakna bagi masa depan anak penyandang autisme. Pasalnya, tanggung jawab terbesar dan ikatan emosional dalam membesarkan anak ada di tangan mereka.

Di sinilah, orangtua memerlukan observasi akurat dan perlu melibatkan para pakar di masing-masing bidangnya. Danny menyarankan ada tiga jenis pakar yang sudah berpengalaman dalam menangani anak berkebutuhan khusus seperti autisme, yakni psikolog klinik dengan spesialisasi tumbuh kembang anak, pediatric neurologist dan terapis okupasi.

Orangtua dapat berperan sebagai asisten guru atau asisten sang psikolog. Bahkan saat pembuatan Individualize Education Plan (IEP), mereka bisa memberikan informasi penting untuk anaknya dalam tahap usia tertentu.

Untuk membantu mengasah kemampuan orangtua, mereka dapat mengikuti program pelatihan dan pendidikan kebutuhan khusus yang tersedia di Linguistic Council. Di lembaga ini, tidak hanya para orangtua, tapi guru dan pemerhati bisa mendapatkan keterampilan khusus dan pemahaman yang tepat tentang bagaimana mendeteksi, mengajar, serta membantu anak-anak berkebutuhan khusus. Contohnya autisme, disleksia, ADD/ADHD, dipraksia, atau anak-anak dengan learning difficulties.

"Jangan jauhi anak-anak berkebutuhan khusus, namun dukung mereka agar kelak dapat mandiri, menyesuaikan diri dengan orang-orang dan lingkungan sekitar. Di samping itu, juga dapat memaksimalkan potensinya dan menyumbangkan kemampuannya kepada masyarakat, dalam arti sudah bisa bekerja," ujar Danny menutup pembicaraan.

by :(kompas.com)


ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) MASIH TERABAIKAN


Karanganyar - Lanthing.


Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) masih terabaikan, termasuk dalam hal pendidikan. Sinyalemen ini terungkap dalam Sosialisasi Pendidikan Inklusi, Membangun Karakteristik Sekolah Inklusif dan Pembelajaran yang Akrab, di Hotel Candisari Karanganyar (17/06/08). “Bahkan, keluarga yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus cenderung menyembunyikannya di rumah karena dianggap aib keluarga, padahal ABK juga berhak memperoleh layanan pendidikan” ujar ketua KOMPUS (Komunitas Pendidikan Untuk Semua), Dwiantoro. Menurut Dwiantoro, yang juga kepala SD Negeri 2 Logandu Karanggayam, semestinya semua sekolah menjadi sekolah inklusi sejalan dengan SK Mendikbud No. 002/U/1986 Tentang Pendidikan Terpadu Bagi Anak Cacat. Dalam Bab I Pasal 1 dinyatakan bahwa Pendidikan terpadu adalah model penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak cacat yang diselenggarakan bersama anak normal di lembaga pendidikan umum dengan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Selanjutnya Dwiantoro menjelaskan bahwa berdasarkan evaluasi lima SD pilot sekolah inklusi, muncul kendala yaitu : Lokasi SD yang jauh dari SLB, belum semua guru kelas memahami sekolah inklusi, belum adanya Pembina teknis tingkat kabupaten, dan sikap orang tua yang kurang komunikatif.

Sosialisasi yang difasilitasi Plan PU Kebumen, menghadirkan narasumber dari Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Tengah, Drs. Mulyono, M.Pd., dan Wakil Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Kebumen, Agus Purwanto.
Dalam paparannya Drs. Mulyono, M.Pd. menjelaskan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus atau child with special needs, adalah anak yang secara fisik/sensorik, intelektual, social, emosional, dan atau kemampuan komunikasinya menyimpang dari criteria normal secara signifikan sehingga karena penyimpangan tersebut membutuhkan layanan pendidikan khusus (special education).

Sementara itu Agus Purwanto sependapat bahwa semua sekolah semestinya menjadi inklusi, bukan sebaliknya ekslusif. Untuk itulah dirinya mengusulkan agar ada sosialisasi yang massif di masyarakat tentang hak-hak ABK khususnya dalam layanan pendidikan. Setelah sebagian besar masyarakat memahami, maka program-program berkait hak ABK, termasuk layanan pendidikan untuk ABK, dimasukkan dalam musrenbang sehingga memperoleh anggaran yang memadai dalam APBD. (d_224)

by :