Jumat, 14 Mei 2010

Helen Keller Menginspirasi Indonesia




Ketika Helen Keller mengunjungi Indonesia pada tahun 1955, ia bertemu dengan kepala negara, Sukarno, untuk membahas kepentingan bersama mereka bagi anak-anak buta. She left behind a Braille printing press, 200 typewriters, and most importantly, a commitment to improve the lives of Indonesia's special needs children. Dia meninggalkan sebuah mesin cetak Braille, 200 mesin ketik, dan yang paling penting, komitmen untuk memperbaiki kehidupan anak-anak kebutuhan khusus Indonesia. Today, thanks to USAID and its partner, Helen Keller International, her vision is being fulfilled and blind children are being integrated into public schools. Hari ini, berkat USAID dan mitra, Helen Keller International, visi nya sedang terpenuhi dan anak-anak buta yang terintegrasi ke dalam sekolah-sekolah umum.

Public education is compulsory in Indonesia until the age of 15, but special needs children are unofficially exempt. Pendidikan publik wajib di Indonesia sampai umur 15, tapi kebutuhan khusus anak-anak tidak resmi dibebaskan. Exclusion from education has negative consequences for those children and creates a marginalized population whose opportunities to be fully productive are severely limited. Pengecualian dari pendidikan memiliki konsekuensi negatif bagi anak-anak dan menciptakan penduduk yang terpinggirkan kesempatan untuk menjadi produktif sepenuhnya sangat terbatas. Only 50,000 of Indonesia's one million estimated special needs children have access to education, primarily through charities. Hanya 50.000 dari satu juta anak di Indonesia diperkirakan kebutuhan khusus memiliki akses ke pendidikan, terutama melalui badan amal. But today, the government is devolving authority over education to local officials, creating an opportunity to design inclusive policies that would bring these children into public schools. Tapi hari ini, pemerintah devolusi kewenangan atas pendidikan kepada pejabat setempat, menciptakan kesempatan untuk merancang kebijakan inklusif yang akan membawa anak-anak ke sekolah-sekolah umum. In response, USAID helped a pilot program in Jakarta lead the way in setting new standards for special needs education. Sebagai tanggapan, USAID membantu program percontohan di Jakarta memimpin upaya menetapkan standar baru untuk pendidikan kebutuhan khusus. The “early intervention” program provides specially trained teachers that prepare preschoolers for regular public schools. Intervensi "awal" Program menyediakan guru khusus yang terlatih yang mempersiapkan anak-anak prasekolah untuk sekolah umum biasa. Indri Aklifia Salsabila, known as Caca, pronounced “cha-cha,” is one of the pioneer children who took part in the program. Indri Aklifia Salsabila, yang dikenal sebagai Caca, diucapkan "cha-cha," adalah salah satu pelopor anak yang ikut dalam program ini. Abandoned by her mother because she was blind, Caca has been raised by her grandmother. Ditinggalkan oleh ibunya karena dia buta, Caca telah dibesarkan oleh neneknya. Determined not to let Caca's disability limit her, she enrolled Caca in the program. Bertekad untuk tidak membiarkan kecacatan membatasi Caca dia, dia terdaftar Caca dalam program ini. Thanks to Caca's hard work, she is ready to start the first grade in her neighborhood school. Terima kasih untuk kerja keras Caca, dia siap untuk memulai kelas pertama di sekolah lingkungan rumahnya.

Tapi pusat lebih dari sekedar sekolah persiapan untuk anak-anak prasekolah. It is also a national resource for teachers, who come there to learn techniques for teaching blind children. Ini juga merupakan sumber daya nasional untuk guru, yang datang ke sana untuk mempelajari teknik-teknik untuk mengajar anak-anak buta. From 2003 to 2005 this program has trained over 300 teachers. Tahun 2003 sd 2005 program ini telah melatih lebih dari 300 guru. The center also teaches Braille and provides Braille textbooks. Pusat ini juga mengajarkan Braille dan menyediakan buku Braille. On a national level, two classifications of training for teaching visually impaired students have been developed, and the government has given grants to schools that are equipped to accommodate special needs children. Pada tingkat nasional, dua klasifikasi pelatihan untuk mengajar siswa tunanetra telah dikembangkan, dan pemerintah telah memberikan hibah untuk sekolah-sekolah yang dilengkapi untuk mengakomodasi kebutuhan khusus anak-anak. Thanks to the ongoing influence of Helen Keller and a grandma committed to Caca's education, the future looks bright for this clever child. Berkat pengaruh yang berkelanjutan dari Helen Keller dan seorang nenek berkomitmen untuk pendidikan Caca itu, masa depan terlihat cerah bagi anak ini pintar. As Helen Keller once said, “Although the world is full of suffering, it is full also of the overcoming of it.” Sebagai Helen Keller pernah berkata, "Meskipun dunia penuh dengan penderitaan, penuh juga dari mengatasi itu."

by : USAID.COM


Tidak ada komentar:

Posting Komentar