|
Januari 2009, putra saya, Fridrik didiagnosa mengalami Gangguan Perkembangan Pervasif (GPP) atau Pervasive Developmental Disorder (PDD) dan menjalani pemindaian MRI aktif di Studi Universitas Columbia pada anak-anak yang mengalami fungsi bahasa rendah. Pada waktu itu, Dr. Harry Schneider memulai program perawatan jangka panjangnya pada Fridrik.
Schneider mengembangkan cara pengobatan dengan menggunakan transcranial direct-current stimulation (tDCS) atau stimulasi arus listrik satu-arah transkranial. Tujuannya untuk memperbaiki jalur saraf Fridrik, sambil mengajarinya bahasa dengan teknik "pengajaran implisit" yang menggunakan metode tatap muka, yakni satu pengajar menghadapi satu pasien.
"Dr. Harry," begitulah pasien spektrumnya (Gangguan Spektrum Autisme) memanggilnya, tidak bekerja sendirian. Di samping bekerja sama dengan Pusat Medis Universitas Columbia (CUMC) pada Studi MRI, kantornya di Plainville, New York, juga dijalankan oleh isterinya, Debra Schneider. Bersama-sama, dengan efisiensi bisnis yang menjadwalkan klien-kliennya di area Megapolitan New York, Amerika Utara, dan seluruh dunia - terkadang hingga tujuh hari per minggu untuk mengakomodasi "pasien luar kota" - mereka membentuk suatu tim yang hebat, namun juga ramah. Mereka tidak hanya ahli berhubungan dengan kliennya, namun juga dengan orang tuanya.
Berikut ini 10 pertanyaan hasil wawancara James Ottar Grundvig (JOG) bersama dengan Dr. Schneider (Dr. Harry) musim panas ini mengenai program perawatannya yang bekerja sama dengan Studi Universitas Columbia seperti yang dia lakukan pada putra saya yang mengalami gangguan berbicara yang parah.
JOG: Apakah gagasan atau hal-hal pencetus momen "Aha!" yang menunjukkan bila tDCS, sejalan dengan MRI aktif, merupakan jalur yang tepat untuk merawat anak dengan Gangguan Spektrum Autisme atau ASD (autism spectrum disorder)?
Dr. Harry: Momen itu terjadi setelah kami melakukan fungsional MRI pertama (fMRI) pada apa yang sekarang kami sebut sebagai anak LFA: anak autisme dengan fungsi bahasa rendah. Maksud kami sebenarnya di proyek CUMC adalah untuk menemukan neuropatofisiologi area otak dan konektivitasnya pada anak-anak ini.
Ibu pertama yang menyaksikan gambar hasil fMRI merasa bahagia sekaligus sedih (melihat) gambar otak putranya yang tidak dapat berbicara. Dia menceritakan pada kami, "Gambar itu akhirnya dapat menunjukkan apa yang salah pada anak saya. Terima kasih. Nah sekarang, apa yang bisa Anda lakukan untuk putra saya?"
Saya pikir, Aha! Kita mempunyai teknologi yang dapat membentuk kembali cara berbicara orang dewasa yang menderita afasia (tidak dapat berbicara) akibat stroke dan pada orang-orang dengan luka otak traumatis.
Bagaimanapun, seluruh pasien lahir dengan bawaan otak neurotipikal.
Bagaimana dengan otak autistik? Yah, sekarang kita mempunyai cara untuk menghasilkan semacam "peta jalan" atas cara kerja saraf anak LFA, dan kita telah memiliki teknologi yang mengatur kelenturan otak agar dapat menyempurnakan cara berbicaranya.
Kami membayangkan dapat mengombinasikan kedua modal - manifestasi atas ketiadaan konektivitas pada seorang anak yang mengalami ASD yang diungkap oleh fMRI dan transcranial direct-current stimulation (tDCS) - untuk mengembalikan bahasa pada anak-anak ini.
Sang ibu dan semua orang tua berpikir bahwa studi investigasi semacam itu sungguh berharga. Saya berkata pada diri sendiri. Kami membuat satu rencana!
JOG: Sudah berapa lamakah Studi Universitas Columbia diselenggarakan?
Dr. Harry: Sekitar 18 bulan sampai dua tahun.
JOG: Berapa lama - atau berapa banyak anak - sebelum contoh kasus pada anak spektrum mendapatkan jalannya melalui program ini?
Dr. Harry: Untuk program pemindaian di Columbia, kami hampir sampai pada: sekitar 100 anak. Untuk program rehabilitasi bahasa di fasilitas Plainview, tujuan kami mempelajari 250 sampai 500 anak agar dapat menarik kesimpulan penting.
JOG: Apakah sasaran jangka panjang atau tujuan perawatan program studi?
Dr. Harry: Tujuan jangka panjang dari pembentukan prosedur bahasa adalah untuk mempelajari kembali fungsi bahasa: kemampuan untuk memulai dan mengelola dialog penuh makna. Ini berarti mulai dari mengikis tata bahasa yang tidak pernah mereka dapatkan dan lantas menambahkan aspek bahasa pragmatis, yang mendasari lebih dari setengah dari apa yang kita katakan. (Michael A. Salvatore/ The Epoch Times/feb)
by : the epoch times.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar