Dengan segala kelebihannya dibanding anak-anak lain – seperti memiliki kepandaian di atas rata-rata – keberadaan anak indigo menarik perhatian masyarakat. Namun keistimewaan mereka jangan dilebih-lebihkan agar mereka bisa hidup dalam lingkungannya secara normal.
Annisa Rania Putri, yang lahir tahun 1999, aktif berbicara dalam bahasa Inggris. Padahal bahasa ini bukan bahasa sehari-hari dalam keluarga mereka. Menurut orangtuanya, kemampuan bicara dalam bahasa Inggris ini didapatnya tanpa belajar, tak lama setelah ia mulai bisa bicara. Selain itu, gadis cilik ini menguasai beberapa bahasa lain, seperti bahasa Arab dan bahasa Korea. Annisa pun kerap memberikan ceramah tentang spiritualitas di hadapan orang-orang dewasa. Belum lagi kemampuannnya merancang bangunan bak seorang arsitek berpengalaman. Sebuah rumah di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Timur, adalah contoh karyanya. Selain itu, bukunya yang bertema spiritualitas juga sudah diterbitkan.
Gadis cilik ini adalah salah satu anak yang di-blow up media sebagai anak indigo. Begitu pula beberapa anak indigo lain beberapa kali diwawancarai media yang berupaya mengungkap keberadaan anak-anak istimewa ini.
Disinyalir keberadaan anak indigo ada sejak awal keberadaan manusia di bumi ini, namun istilah ‘indigo’ sendiri baru dipopulerkan oleh Nancy Ann Tappe, seorang konselor di Amerika Serikat pada era 80-an. Lewat bukunya ia menuturkan bahwa ia mengamati warna aura manusia untuk kemudian menghubungkannya dengan kepribadiannya. Dari pengamatan ini didapatlah sebuah warna indigo atau nila, yang merupakan campuran warna ungu dan biru. Warna ini biasanya dimiliki orang dewasa, namun ternyata dimiliki juga oleh anak-anak tertentu, hingga disebutlah mereka sebagai anak-anak indigo.
Berkemampuan di atas rata-rata
Anak-anak indigo disinyalir memiliki kemampuan istimewa. Dr H Tubagus Erwin Kusuma, SpKJ, yang banyak menangani kasus anak indigo, mengungkapkan bahwa anak-anak indigo itu umumnya punya ciri khusus seperti memiliki kecerdasan superior dengan IQ di atas 130. Pada tingkat kecerdasan ini, anak indigo dapat melakukan sesuatu tanpa belajar terlebih dahulu, sementara anak cerdas biasa baru bisa melakukan sesuatu setelah diajarkan terlebih dahulu.
Ciri lainnya adalah anak indigo sangat berbakat. Mereka juga humanis, konseptual, artistik dan kadang interdimensional (mampu melihat dalam berbagai dimensi). Maka tak heran bila Annisa dengan kemampuan konseptualnya bisa merancang rumah, dari mulai bentuk, bahan-bahan hingga infrastrukturnya. “Selain itu pembicaraannya memang jauh melampaui anak-anak sebayanya, sehingga mereka biasanya tidak mau bermain bersama anak-anak sebayanya,” kata psikiater kelahiran tahun 1939 ini. Pandangan anak indigo terhadap hidup dan kehidupan begitu dewasa, bahkan melebihi kebijakan orang dewasa.
Dokter Erwin menambahkan bahwa biasanya anak-anak indigo juga dapat “membaca” perasaan orang lain. Rasa empati mereka begitu peka, hingga bisa ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain dan tak segan memberikan bantuan pada orang lain. Mereka pun umumnya tertarik dengan segala hal yang berkaitan dengan alam dan kemanusiaan.
Selain kemampuan istimewa ini, beberapa anak indigo juga dikabarkan bisa melihat bahkan berkomunikasi dengan makhluk halus, begitu pula ada yang dikabarkan bisa “membaca” tanda-tanda sebelum sesuatu terjadi ataupun yang sudah berlalu, termasuk tentang dirinya sendiri. Akibatnya mereka sering dianggap mempunyai indera keenam.
Sementara itu kondisi umum yang juga kerap didapati pada anak indigo adalah kebiasaan berbicara sendiri—yang acap ditafsirkan kalau ia tengah bicara dengan makhluk ghaib. Kondisi ini sepintas mirip dengan anak autis yang kadang bicara sendiri. Namun kalau anak indigo omongannya terarah, sementara anak autis tidak terarah dan cenderung ngaco.
Karena memiliki sikap keseharian yang berbeda dengan anak-anak lainnya inilah, kata psikolog Astri S. Widianti, kadang membuat orang salah mengira anak indigo sebagai anak penderita ADD/ADHD (gangguan kekurangan perhatian/gangguan hiperaktif dan kekurangan perhatian). “Memang kalau tidak diamati secara jeli oleh orang-orang yang paham, bisa salah diartikan sebagai ADD/ADHD, hingga anak indigo malah dikasih perlakuan dan obat-obatan ADD/ADHD. Itu kan tidak benar,” kata psikolog yang bergabung di Essa Consulting ini.
Karena itu membawa anak-anak yang diduga kuat sebagai anak indigo kepada ahlinya, yaitu psikiater dan psikolog, untuk dilakukan serangkaian tes adalah hal pertama yang harus dilakukan orangtua agar anak-anak istimewa ini mendapat perlakuan yang semestinya.
Dijelaskan oleh dr Erwin, indigo itu adalah sebuah kelebihan, bukan penyakit – dalam klasifikasi internasional tentang penyakit dari WHO, tak ada penyakit indigo – dan tak dapat digolongkan sebagai cenayang atau paranormal. Keistimewaan ini juga bukan didasarkan atas keturunan, dalam satu keluarga bisa jadi hanya satu anak yang indigo, sementara yang lain tidak.
Kelebihan sebagai indigo ini pun, kata dokter yang menjabat sebagai Kepala Departemen Kesehatan Jiwa RSPAD Gatot Subroto Jakarta ini, akan dibawa si anak terus sampai dewasa. Namun sesuai perkembangan kepribadiannya, para indigo dewasa sudah bisa memahami dan mengelola emosinya hingga mampu memenej kelebihannya secara baik. Jadi mereka tak lagi tampak berbeda dengan orang lain di sekelilingnya.
Pengertian dan pendampingan orangtua
Meski sesungguhnya anak indigo peduli sekitar, dan mudah berempati namun mereka juga acap terlihat mudah terlibat konflik. Ini sesungguhnya disebabkan mereka sering tak setuju terhadap sesuatu hal yang tak sesuai penalarannya, tidak sabaran, mudah bosan hingga mudah marah. Karena itu mereka juga kadang digambarkan sebagai tipe anak yang ‘sulit’ untuk mendapatkan kawan.
Apalagi dengan tingkat kepandaian yang luar biasa bahkan melampaui kepandaian guru-gurunya, anak indigo punya potensi untuk sering berkonflik pula dengan guru-gurunya. Mereka ingin apa pun diterangkan sejelas-jelasnya untuk memuaskan keingintahuan mereka yang sangat besar sesuai tingkat intelektualitas mereka. Dalam banyak kasus, anak-anak indigo akhirnya banyak yang menjalani bersekolah rumah (homeschooling) karena sulit bergaul dengan guru dan teman-teman. Hal ini tentulah bukan keadaan yang nyaman buat anak-anak. Kondisi ini akan menjadi lebih parah dan menjadi beban berat buat anak indigo bila orangtua juga tak memahaminya.
Bila memang si anak sudah terdeteksi sebagai anak indigo, giliran orangtualah yang harus menempatkan diri menjadi orangtua yang baik bagi anak indigo. “Diperlukan konseling untuk orangtua, karena tak banyak orangtua yang mengerti keadaan anak indigo. Orangtua diarahkan untuk tahu bagaimana bersikap dan menyikapi anak agar si anak tidak merasa menjadi anak yang aneh. Dengan segala kelebihan dan kekurangan anak indigo, orangtua harus menyesuaikan diri dengan mereka, bukan anak indigo yang harus menyesuaikan diri dengan orangtua. Selain itu orangtua juga harus banyak tahu tentang indigo, misalnya dari internet, hingga wawasan dalam mendidik anak indigo semakin luas, tak sebatas yang didapat dari konseling saja,” papar Astri.
Selain untuk menyiapkan orangtua sendiri, konseling ini, tambah dr Erwin, diperlukan orangtua agar dapat mengkomunikasikan kondisi anaknya pada pihak luar, termasuk kepada guru-gurunya. Hingga kemudian guru bisa menjadi mediator antara anak indigo dengan teman-temannya, dan diharapkan teman-teman mereka bisa menerima kelebihan dan kekurangan anak indigo.
Untuk kemampuan mereka dalam melihat atau berkomunikasi dengan makhluk ghaib, orangtua juga perlu memberi pemahaman sekaligus perlindungan buat mereka. Sebagai anak kecil, melihat penampakan makhluk halus yang bisa jadi menyeramkan tentu amat mengganggu mereka. Mereka mungkin jadi cemas, takut dan bingung karena hanya dia yang bisa melihat mereka, sementara orang lain tidak. “Jelaskan bahwa makhluk itu memang ada, tapi ia tidak mengganggu kamu. Katakan, ‘Kamu tidak perlu takut, karena ia juga makhluk ciptaan Allah.’ Begitu juga dengan kejadian-kejadian lain yang hanya dia yang melihat, orangtua mesti memberi pengertian yang baik, bukan malah menyangkalnya,” terang Astri.
Dengan kekhasan mereka, anak indigo juga perlu diajari akhlak atau tata karma dan tata tertib – menurut istilah dokter Erwin tentang ‘harus dan jangan’. “Misalnya kenapa kita harus cium tangan kepada yang lebih tua? Lalu kenapa kita sebelum masuk kelas harus baris dan masuk satu persatu, tidak boleh semua sekaligus padahal pintunya kan lebar?” contoh ayah satu putri ini.
Untuk menjelaskan itu semua memang mesti diiringi kesabaran dan penjelasan detail dalam menjawab cecaran pertanyaan anak indigo. Segala ‘harus dan jangan’ mesti diajarkan agar anak indigo menjadi indigo dewasa yang bisa menghargai perbedaan dan tidak bentrok dengan lingkungannya.
by :Asmawati/wawancara: Firda Kurnia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar